“…why so serious?”
(Joker)
Bagi saya, move on dalam
urusan perasaan boleh jadi lebih mudah, daripada move on dalam urusan film superhero.
Untuk film jenis ini, saya belum bisa move
on sepenuhnya dari trilogi Batman-nya Christopher Nolan—terutama sekuel
keduanya yang berjudul The Dark Knight.
Film yang dirilis tahun 2008 itu terbilang sukses mengubah pespektif publik
terhadap film superhero. Jika dulu kita menganggap film superhero adalah film pop corn penuh fantasi, maka The Dark Knight menampilkan sosok
superhero yang lebih “manusiawi”.
Di film The Dark
Knight, Batman bukanlah sosok superhero yang unbeatable. Batman tidak selalu dielu-elukan banyak orang.
Alih-alih, Batman sempat dicap sebagai public
enemy oleh warga Gotham City yang
selama ini dibelanya. Batman pun sempat menerima kenyataan pahit saat wanita
yang paling dicintainya justru memilih pria lain untuk dinikahi.
Tidak seperti film superhero lain yang plot ceritanya
mudah ditebak. The Dark Knight menyajikan
alur cerita yang lebih rumit dan dramatis. The
Dark Knight tidak melulu
mengumbar efek CGI dengan adegan “jeder...jeder”
memekakkan telinga. Ada pesan moral dan intrik-intrik psikologis rumit yang terselip
di film The Dark Knight. Semua itu disuguhkan
dengan apik tanpa merusak jalan cerita. Singkatnya, The Dark Knight telah berhasil menciptakan paradigma baru dalam film
superhero.
Apiknya Batman versi Nolan telah membuat para penonton kesulitan
untuk move on. Mereka menjadikan
Batman-nya Nolan sebagai tolak ukur bagi film-film Batman selanjutnya. Karenanya,
tidak mengherankan jika Batman sempat vakum dari layar lebar semenjak trilogi
Batman-nya Nolan berakhir tahun 2012. Sineas-sineas Hollywood tampaknya sangat berhati-hati
dalam membuat film Batman berikutnya. Mereka harus berpikir keras agar film
Batman berikutnya tidak melenceng jauh dari Batman-nya Nolan yang kadung dijadikan
standar oleh para penggemarnya.
Awal Maret kemarin, Batman kembali hadir ke layar lebar dalam
film Batman vs Superman. Melihat
judulnya, kita bisa langsung menebak film ini akan menyajikan konflik
horisontal antara Batman dan Superman—dua superhero komik DC yang paling banyak
difilmkan. Konflik dasar itulah yang membuat film garapan sutradara Zack Snyder
ini disambut dengan penuh antusias oleh para penggemarnya.
Meski terlihat cukup prospektif, film Batman vs Superman tidak akan mudah
merebut hati penonton. Setidaknya ada dua tantangan yang harus dihadapi, yaitu:
(1)
Karena melibatkan “Batman” di dalamnya, penonton akan
selalu membanding-bandingkan sosok Batman di film “Batman vs Superman” dengan Batman versi Nolan. Para penonton tentu berekspektasi, Ben Affleck dapat membawakan sosok Batman dengan apik, seperti halnya Christian
Bale. Belum lagi jika membandingkan plot yang dramatis ala Batman-nya Nolan. Batman vs Superman tentu tidak boleh terjebak
dalam kemegahan CGI dan aksi “jeder…jeder”
saja, tapi juga harus menyuguhkan scene-scene
yang dramatis dan plot yang sulit ditebak.
(2)
Para penonton mungkin akan kesulitan memahami plot
cerita di awal-awal film. Pertanyaan-pertanyaan seperti, bagaimana Superman
bisa berkenalan dengan Batman, apa alasan keduanya berkonflik, dan siapa villain utama yang dihadapi, akan berputar-putar di otak penonton selama film tersebut ditayangkan. Hal ini tidak
lain karena Batman vs Superman tidak membangun
kontinuitas cerita melalui film-film sebelumnya. Film terakhir Batman (The Dark Knight Rises) maupun Superman (Man of Steel) bahkan tidak ada kaitannya
sama sekali. Hal ini berbeda dengan film superhero adaptasi
komik Marvel, yang telah membangun kontinuitas cerita secara paralel dari film-film superhero Marvel sebelumnya.
Dua hal itulah yang harus dijawab Zack Snyder dalam film Batman vs Superman. Kesuksesan film ini
akan menjadi pondasi penting untuk prospek film-film superhero adaptasi komik
DC selanjutnya, seperti Wonder Woman dan
Justice League, yang akan dirilis
tahun depan.
Tentu saja tulisan ini hanya sebatas penilaian subjektif semata.
Saya tidak bermaksud mengatakan film Batman
vs Superman itu buruk. Semuanya murni soal selera. Saya memiliki kriteria tertentu dalam menilai film superhero. Di sini, Saya hanya menggarisbawahi
bahwa setiap film yang melibatkan Batman di dalamnya, akan selalu dibanding-bandingkan
dengan trilogi Batman-nya Christopher Nolan. Para sineas Hollywood harus berhati-hati
dalam menghadirkan sosok Batman karena penonton terlanjur menjadikan Batman
versi Nolan sebagai tolak ukur film Batman berikutnya. Jika tidak, maka bersiaplah
menerima kritikan pedas dari penonton yang belum bisa move on dari Batman-nya Nolan—termasuk saya.
NB:
Sementara orang-orang sibuk berjejalan di bioskop untuk
mengantri tiket Batman vs Superman, saya
lebih memilih bersabar menunggu film superhero yang lebih “humanis” seperti
Batman-nya Nolan.
0 comments:
Post a Comment