Subscribe:

Labels

Wednesday 30 March 2016

Karena Cinta Butuh LOGIKA


Cinta tanpa logika,
kalau tidak bikin sakit, paling-paling bikin ‘’khilaf’’.
 (Hatake Niwa)

Seorang bijak pernah berkata “hidup itu pilihan.” Dalam pandangan filsafat, setiap orang memiliki apa yang disebut “kehendak bebas”. Kehendak bebas itulah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Dengan kehendak bebas itu, setiap orang bebas memilih jalan hidupnya masing-masing. Karenanya, pada hakikatnya kehidupan ini hanya berisi pilihan-pilihan hidup. Tugas kita hanya memilih pilihan-pilihan itu. Dan untuk setiap pilihan yang kita pilih, selalu ada konsekuensi logis yang akan menentukan perjalanan hidup kita di masa depan.

Konsep kehendak bebas ini mencakup segala aspek kehidupan manusia, tak terkecuali dalam hal cinta. Sebagai perasaan universal, cinta menyediakan berbagai macam pilihan bagi kita. Pacaran, menikah, LDR, HTS, jomblo, TTM, selingkuh, putus, dan cerai, adalah beberapa contoh pilihan dalam cinta. Tugas kita tidak lebih dari memilih pilihan-pilihan itu dan menerima segala konsekuensinya.

Jika kita memilih pacaran misalnya. Ok, well, mungkin kita akan merasakan betapa bahagianya memiliki kekasih. Kita bahagia, karena memiliki seseorang yang spesial yang tulus memberikan perhatian dan kasih sayangnya pada kita. Dengan pacaran, kita berpikir kita sudah mendapatkan calon pendamping hidup. Itu gambaran indahnya pacaran. Tapi di sisi lain, ada saja kemungkinan buruk saat kita memilih pacaran.

Kita tidak bisa naif mengatakan pacaran adalah cara terbaik mencari pasangan hidup. Di satu sisi pacaran memang terlihat indah, seperti cerita novel atau di film-film picisan. Tapi di dunia nyata, realitasnya tidak semudah itu. Bagaimana jika pacar kita ternyata orang yang cuek? Bagaimana jika pacar kita ternyata seorang maniak tukang selingkuh? Bagaimana jika pacar kita keburu jengah dan memilih putus ? Semua kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi saat pacaran.

Sama halnya dengan menikah. Betapa banyak orang yang mengompori para lajang untuk segera menikah tanpa mau mengungkap susah payahnya kehidupan berumah tangga. Itu berbahaya sekali. Orang akan berpikir menikah itu mudah. Kemudian tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk menikah meski persiapannya pas-pasan. Tahu-tahu setelah menikah, orang itu menyadari ternyata kehidupan rumah tangga tak seindah kata orang. Biduk rumah tangga pun berantakan.

*   *   *

Seperti yang saya katakan di atas, setiap pilihan hidup memiliki konsekuensi. Kita sendirilah yang harus bertanggung jawab atas setiap pilihan hidup yang kita ambil. Kita tidak bisa menyalahkan orang lain, jika pilihan yang kita pilh ternyata keliru. Begitu juga dengan pilihan hidup orang lain. Kita tidak bisa menjamin pilihan hidup orang lain akan berdampak sama baiknya bagi kehidupan kita. Masing-masing orang menghadapi situasi dan kondisi lingkungan yang berbeda. Karenanya, pilihan-pilihan yang diambil pun sudah pasti berbeda.

Sebagai contoh, jika ada orang yang pacarannya awet sampai menikah, itu tidak selalu berarti pacaran adalah pilihan terbaik untuk mendapat pasangan. Kenyataannya, tidak sedikit orang yang pacaran sampai bertahun-tahun, tapi akhirnya putus sebelum ke pelaminan. Begitu juga dengan orang yang sudah menikah. Meski banyak orang mengaku bahagia setelah menikah, belum tentu setiap orang yang menikah akan bahagia. Ada saja segelintir orang yang rumah tangganya berantakan, meski sudah menikah bertahun-tahun lamanya.

Kita semua tahu, urusan cinta terkait dengan perasaan. Dan setiap perasaan akan selalu menyentuh emosi. Sementara emosi hanya bisa dikendalikan dengan LOGIKA. Cinta membutuhkan LOGIKA agar ia tetap berjalan dalam batas-batas hubungan yang semestinya. Menyikapi cinta tanpa logika, sama saja menyerahkan cinta pada dorongan nafsu dan pemenuhan ego pribadi.

Misalkan kita memiliki seorang pacar. Kita sangat mencintai pacar kita dan tidak bisa berpaling darinya. Karena hanya dia yang tahu cara membuat kita merasa nyaman. Tapi ketika pacar kita tak lagi perhatian dan berulang kali mengecewakan kita, logika kita akan bertanya, “Apakah pacar kita memberi cinta sebesar cinta yang kita berikan padanya? Apakah pacar kita berharap sebagaimana kita selalu berharap padanya?”

Jika saat itu kita memperturutkan perasaan kita, maka yang terjadi kemudian adalah kita “membenarkan” setiap perlakuan buruk dan kekecewaan yang kita terima. Kita selalu memaafkan pacar, dengan harapan suatu saat pacar kita akan sadar dan berubah. Kita yakin itu, karena cinta selalu memaafkan. Ya, memang benar cinta selalu memaafkan. Tapi ketika orang yang dimaafkan tidak kunjung memperbaiki diri, apa lagi yang bisa kita percaya dari cinta semacam itu? Tanpa sadar, kita justru "memperkosa" makna cinta itu sendiri, dan membiarkan orang lain “memanfaatkan” keluguan kita karena menyikapi cinta tanpa logika.

Contoh di atas hanya segelintir kasus di mana orang-orang terjebak dalam perasaan cinta sampai mengabaikan pertimbangan logika. Di luar itu, masih banyak kasus lain yang jauh lebih mengkhawatirkan, seperti kehamilan di luar nikah, aborsi, kawin lari, sampai pembunuhan berencana. Semua itu bisa terjadi, karena cinta disikapi dengan nafsu dan ego pribadi, hingga mengabaikan batas-batas logika.

*   *   *

Orang pacaran bisa saja putus. Orang menikah, bisa saja bercerai. Dan jomblo pun, tak selamanya berarti kebebasan. 

Dengan logika, kita belajar menerima segala konsekuensi hubungan cinta. Kita akan melihat cinta dari sisi yang berbeda—tidak hanya sisi indahnya, seperti di cerita novel atau film picisan, tapi juga mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Dengan memahami konsekuensi hubungan cinta, kita bisa menjaga cinta itu pada koridor-koridor hubungan yang sewajarnya. Kita pun lebih mudah menerima kenyataan untuk move on, ketika hubungan itu harus kandas. Karena bagi orang yang jatuh cinta, konsekuensi logisnya cuma dua: berujung derita atau berakhir bahagia. Demikian. []

1 comments:

Tri said...

Pak guru.. pertamax ngomen..
Hahaha

Jodoh dunia akhirat, namanya itu rahasia..

Post a Comment