“Semua pemberian
Tuhan itu gratis.
Hanya pemberian manusia
yang minta bayaran,
pakai ‘syarat dan
ketentuan’ pula!?—repotnya.”
(Hatake Niwa)
“Mak…maaak…maakkk…” Beberapa waktu yang
lalu saya mendengar erangan dari bangunan sebelah rumah. Awalnya, saya pikir
itu suara tikus yang mencicit di loteng rumah. Setelah saya telusuri, ternyata
suara itu bukan suara tikus, melainkan predatornya tikus—“kucing”. Saya mendapati
ada tiga ekor bayi kucing di bangunan sebelah rumah. Dari kondisi tubuhnya,
sepertinya bayi-bayi kucing itu baru lahir beberapa hari yang lalu. Anehnya,
tidak ada induk kucing di sana. Mungkin si induk sedang sibuk mencari makanan
di luar. Saya pun membiarkan bayi kucing itu di tempatnya.
Selang beberapa jam, tidak ada tanda-tanda induk
kucing itu kembali. Agaknya si induk kucing itu sudah pergi, entah karena tidak
mau mengasuh bayinya atau malah sudah mati di luar sana. Karena induknya pergi,
rengekan ketiga bayi kucing itu semakin menjadi. Saat saya melongoknya, mereka
mulai terlihat kelaparan. Demi memenuhi rasa “peri-ke-hewan-an”, mau tak mau
saya pun mengacuhkan ketiga binatang malang itu.
Masalahnya, saya belum pernah memelihara seekor
kucing pun di rumah. Rumah saya boleh dibilang steril dari kucing. Keluarga
saya juga tidak terlalu senang memelihara binatang jenis mamalia, seperti
kucing. Mereka lebih senang memelihara unggas seperti ayam atau burung.
Karenanya, saya cukup kelabakan ketika memutuskan untuk mengurus tiga bayi
kucing itu.
Saya pun mencari informasi tentang cara merawat
bayi kucing di internet. Dari sekian banyak artikel dan tips yang saya peroleh,
setidaknya saya harus menyiapkan perlengkapan dasar merawat bayi kucing,
seperti kandang, dot (tempat susu), lampu pemanas, dan tentu
saja susu kucing.
Seperti halnya bayi manusia, kebutuhan pokok
bayi kucing adalah SUSU. Jika bayi manusia butuh ASI, maka bayi kucing butuh
ASK (Air Susu Kucing). Idealnya, bayi kucing yang ditinggal induknya harus
disusukan ke kucing lain yang mau berbagi ASK. Tujuannya, agar bayi kucing
tetap mendapat pasokan nutrisi demi kelangsungan hidupnya.
Sayangnya, saya tidak melihat tetangga kanan kiri memelihara
kucing. Saya terpaksa mencari susu kucing di petshop yang ada
di kota. Di petshop itu, saya sempat berkonsultasi
dengan seorang karyawan tentang perawatan bayi kucing. Menurutnya, bayi kucing
perlu diberi susu setiap 2-3 jam. Porsinya tidak perlu banyak, tapi sering.
Dengan kata lain, dalam sehari, seekor bayi
kucing rata-rata harus diberi susu sebanyak 6-8 kali. Jika saya libur panjang,
mungkin saya bisa melakukannya. Tapi seringkali, saya tidak selalu berada di
rumah. Ada saja kepentingan yang mengharuskan saya keluar rumah selama
berjam-jam. Karena itu, beberapa kali saya terpaksa melewatkan “jam makan” dan
membuat bayi-bayi kucing itu kelaparan. (Maafin aku, ya, Cing…)
Urusan susu ini ternyata rempong sekali.
Andai bayi-bayi kucing itu tinggal bersama induknya, maka masalahnya akan jauh
lebih mudah. Semesta sudah menyiapkan “fasilitas” khusus untuk kelangsungan
hidup bayi kucing. Dari tetek induknya, bayi kucing bisa
langsung minum susu murni yang kaya colostrum—sebuah zat yang
sangat penting bagi pertumbuhan bayi kucing. Susu kucing murni tentu jauh lebih
aman dan bernutrisi dibanding susu “pabrik” yang diproses dari susu sapi.
Terkadang, susu bikinan pabrik malah membuat bayi kucing mencret karena kadar
laktosanya berbeda.
Tidak hanya soal susu, keberadaan induk kucing
juga dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar bayi kucing, misalnya
dalam urusan pencernaan. Biasanya, induk kucing akan menjilati daerah genital
dan anus bayinya, agar bayi kucing itu bisa ngeden sampai
akhirnya nge-pup dan pipis sendiri. Jika induk kucing tidak ada,
maka si perawat bayi kucing-lah yang harus melakukan “pembersihan” itu
(kita bisa memakai tisu atau kapas yang diberi air hangat untuk mengusap daerah
genital dan anus si anak kucing).
Dengan segala kerempongan itu, tidak heran jika
banyak bayi kucing yang sengaja dibuang pemiliknya. Biasanya bayi kucing
dibuang di tempat-tempat pembuangan sampah. Jika pemiliknya “berbaik hati,”
bayi kucing akan dipaketi dalam kardus, kemudian diletakkan di depan rumah
orang—siapa tahu pemilik rumah akan merasa iba dan sudi merawat si bayi kucing.
Yang paling sadis, bayi kucing akan dibuang ke jalanan, dan dibiarkan mati
terlindas kendaraan yang lewat.
Semua kerepotan itu membuat saya memilih untuk
tidak memelihara binatang seperti kucing. Bukan karena saya membenci kucing,
melainkan lebih karena saya merasa tidak cukup telaten mengurusnya. Daripada
ke-kurang-telaten-an saya malah menyiksa si kucing, lebih baik saya tidak usah
memeliharanya saja (kasus tiga bayi kucing yang saya ceritakan di atas termasuk
pengecualian).
Dari pengalaman merawat kucing, saya menyadari
betapa sempurnanya sistem alam semesta. Sistem itu didesain khusus oleh
Penciptanya demi menjaga kelangsungan hidup makhluk-makhluk-Nya. Seperti halnya
air susu tadi, kuasa-Nya menjadikan air susu yang mengalir di antara darah dan
kotoran. Air susu itu mudah ditelan dan “diformulasikan” khusus untuk menopang
hidup si jabang bayi. Daya nalar dan teknologi manusia memang memungkinkan kita
membuat susu formula. Meski begitu, kandungan nutrisi susu formula bikinan manusia
masih tetap kalah jauh dibanding air susu alami ciptaan Tuhan.
Memikirkan hal ini, seharusnya membuat manusia
merasa malu. Sebagai manusia, kita menikmati berbagai fasilitas gratis ciptaan
Tuhan, tapi kenapa sedikit sekali di antara kita yang mau bersyukur? Kita
tidak pernah membayar Tuhan untuk bernapas. Kita juga tidak pernah membayar-Nya
untuk sekedar melihat. Sementara di rumah sakit, orang-orang bahkan harus
membayar milyaran hanya untuk bisa bernafas atau melihat.
Lebih dari itu, Tuhan tetap bermurah hati
memberikan fasilitas hidup, tanpa pandang bulu. Orang baik maupun orang jahat
sekali pun, bisa tetap mendapat rahmat-Nya. Sekarang, tinggal bagaimana manusia
mensyukuri dan memanfaatkan fasilitas itu—apakah ia akan memakainya demi
menebar kebaikan atau untuk merusak tatanan semesta.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan? ” []
0 comments:
Post a Comment