Subscribe:

Labels

Thursday 17 March 2016

Tiga Bayi Kucing di Sebelah Rumah


Semua pemberian Tuhan itu gratis.
Hanya pemberian manusia yang minta bayaran,
pakai ‘syarat dan ketentuan’ pula!?—repotnya.
(Hatake Niwa)

Mak…maaak…maakkk…” Beberapa waktu yang lalu saya mendengar erangan dari bangunan sebelah rumah. Awalnya, saya pikir itu suara tikus yang mencicit di loteng rumah. Setelah saya telusuri, ternyata suara itu bukan suara tikus, melainkan predatornya tikus—“kucing”. Saya mendapati ada tiga ekor bayi kucing di bangunan sebelah rumah. Dari kondisi tubuhnya, sepertinya bayi-bayi kucing itu baru lahir beberapa hari yang lalu. Anehnya, tidak ada induk kucing di sana. Mungkin si induk sedang sibuk mencari makanan di luar. Saya pun membiarkan bayi kucing itu di tempatnya.

Selang beberapa jam, tidak ada tanda-tanda induk kucing itu kembali. Agaknya si induk kucing itu sudah pergi, entah karena tidak mau mengasuh bayinya atau malah sudah mati di luar sana. Karena induknya pergi, rengekan ketiga bayi kucing itu semakin menjadi. Saat saya melongoknya, mereka mulai terlihat kelaparan. Demi memenuhi rasa “peri-ke-hewan-an”, mau tak mau saya pun mengacuhkan ketiga binatang malang itu.

Masalahnya, saya belum pernah memelihara seekor kucing pun di rumah. Rumah saya boleh dibilang steril dari kucing. Keluarga saya juga tidak terlalu senang memelihara binatang jenis mamalia, seperti kucing. Mereka lebih senang memelihara unggas seperti ayam atau burung. Karenanya, saya cukup kelabakan ketika memutuskan untuk mengurus tiga bayi kucing itu.

Saya pun mencari informasi tentang cara merawat bayi kucing di internet. Dari sekian banyak artikel dan tips yang saya peroleh, setidaknya saya harus menyiapkan perlengkapan dasar merawat bayi kucing, seperti kandang, dot (tempat susu), lampu pemanas, dan tentu saja susu kucing.

Seperti halnya bayi manusia, kebutuhan pokok bayi kucing adalah SUSU. Jika bayi manusia butuh ASI, maka bayi kucing butuh ASK (Air Susu Kucing). Idealnya, bayi kucing yang ditinggal induknya harus disusukan ke kucing lain yang mau berbagi ASK. Tujuannya, agar bayi kucing tetap mendapat pasokan nutrisi demi kelangsungan hidupnya.

Sayangnya, saya tidak melihat tetangga kanan kiri memelihara kucing. Saya terpaksa mencari susu kucing di petshop yang ada di kota. Di petshop itusaya sempat berkonsultasi dengan seorang karyawan tentang perawatan bayi kucing. Menurutnya, bayi kucing perlu diberi susu setiap 2-3 jam. Porsinya tidak perlu banyak, tapi sering.

Dengan kata lain, dalam sehari, seekor bayi kucing rata-rata harus diberi susu sebanyak 6-8 kali. Jika saya libur panjang, mungkin saya bisa melakukannya. Tapi seringkali, saya tidak selalu berada di rumah. Ada saja kepentingan yang mengharuskan saya keluar rumah selama berjam-jam. Karena itu, beberapa kali saya terpaksa melewatkan “jam makan” dan membuat bayi-bayi kucing itu kelaparan. (Maafin aku, ya, Cing…)

Urusan susu ini ternyata rempong sekali. Andai bayi-bayi kucing itu tinggal bersama induknya, maka masalahnya akan jauh lebih mudah. Semesta sudah menyiapkan “fasilitas” khusus untuk kelangsungan hidup bayi kucing. Dari tetek induknya, bayi kucing bisa langsung minum susu murni yang kaya colostrum—sebuah zat yang sangat penting bagi pertumbuhan bayi kucing. Susu kucing murni tentu jauh lebih aman dan bernutrisi dibanding susu “pabrik” yang diproses dari susu sapi. Terkadang, susu bikinan pabrik malah membuat bayi kucing mencret karena kadar laktosanya berbeda.

Tidak hanya soal susu, keberadaan induk kucing juga dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar bayi kucing, misalnya dalam urusan pencernaan. Biasanya, induk kucing akan menjilati daerah genital dan anus bayinya, agar bayi kucing itu bisa ngeden sampai akhirnya nge-pup dan pipis sendiri. Jika induk kucing tidak ada, maka si perawat bayi kucing-lah yang harus melakukan “pembersihan” itu (kita bisa memakai tisu atau kapas yang diberi air hangat untuk mengusap daerah genital dan anus si anak kucing).

Dengan segala kerempongan itu, tidak heran jika banyak bayi kucing yang sengaja dibuang pemiliknya. Biasanya bayi kucing dibuang di tempat-tempat pembuangan sampah. Jika pemiliknya “berbaik hati,” bayi kucing akan dipaketi dalam kardus, kemudian diletakkan di depan rumah orang—siapa tahu pemilik rumah akan merasa iba dan sudi merawat si bayi kucing. Yang paling sadis, bayi kucing akan dibuang ke jalanan, dan dibiarkan mati terlindas kendaraan yang lewat.

Semua kerepotan itu membuat saya memilih untuk tidak memelihara binatang seperti kucing. Bukan karena saya membenci kucing, melainkan lebih karena saya merasa tidak cukup telaten mengurusnya. Daripada ke-kurang-telaten-an saya malah menyiksa si kucing, lebih baik saya tidak usah memeliharanya saja (kasus tiga bayi kucing yang saya ceritakan di atas termasuk pengecualian).

Dari pengalaman merawat kucing, saya menyadari betapa sempurnanya sistem alam semesta. Sistem itu didesain khusus oleh Penciptanya demi menjaga kelangsungan hidup makhluk-makhluk-Nya. Seperti halnya air susu tadi, kuasa-Nya menjadikan air susu yang mengalir di antara darah dan kotoran. Air susu itu mudah ditelan dan “diformulasikan” khusus untuk menopang hidup si jabang bayi. Daya nalar dan teknologi manusia memang memungkinkan kita membuat susu formula. Meski begitu, kandungan nutrisi susu formula bikinan manusia masih tetap kalah jauh dibanding air susu alami ciptaan Tuhan.

Memikirkan hal ini, seharusnya membuat manusia merasa malu. Sebagai manusia, kita menikmati berbagai fasilitas gratis ciptaan Tuhan, tapi kenapa sedikit sekali di antara kita yang mau bersyukur? Kita tidak pernah membayar Tuhan untuk bernapas. Kita juga tidak pernah membayar-Nya untuk sekedar melihat. Sementara di rumah sakit, orang-orang bahkan harus membayar milyaran hanya untuk bisa bernafas atau melihat.

Lebih dari itu, Tuhan tetap bermurah hati memberikan fasilitas hidup, tanpa pandang bulu. Orang baik maupun orang jahat sekali pun, bisa tetap mendapat rahmat-Nya. Sekarang, tinggal bagaimana manusia mensyukuri dan memanfaatkan fasilitas itu—apakah ia akan memakainya demi menebar kebaikan atau untuk merusak tatanan semesta.


Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? ” []

0 comments:

Post a Comment