“Jika motivator cuma modal ngomong,
kenapa
tidak semua orang sukses jadi motivator? ”
(Hatake
Niwa)
Dulu, saat saya masih sering galau, saya rajin mengikuti
acara motivasi di sebuah televisi swasta. Acara tersebut ditayangkan setiap
pekan. Bukan acara live sih, tapi bagi saya acara itu lumayan
efektif untuk menyentil nalar dan menggugah nurani.
Setiap pekannya, si motivator membahas topik yang beragam.
Biasanya, dalam acara itu si motivator melakukan dialog interaktif dengan audience yang ada di studio. Di
sela-sela dialog itu, si motivator akan menyitir banyak nasehat bijak untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Apapun pertanyaan dan
keluhannya, si motivator selalu memiliki jawaban logisnya—seakan-akan dirinya adalah
“doraemon” yang bisa mengatasi segala masalah.
Si motivator tidak hanya terkenal di layar kaca. Di dunia
maya, ia juga dikenal luas oleh para netizen.
Fanspage-nya di media sosial terbilang
sukses. Jumlah followers-nya mencapai jutaan. Dengan fanspage itu,
si motivator sering membagikan nasehat-nasehat bijaknya. Kebanyakan nasehatnya bertutur
tentang kebijaksanaan hidup, hubungan antarpribadi, percintaan, dan
pengembangan diri. Semuanya dikemas dalam bahasa “tingkat tinggi” yang sengaja
dipilih demi menggugah motivasi para pembacanya.
Anehnya, tidak semua orang menyukai nasehat si motivator.
Ada saja segelintir netizen yang
nyinyir bilang si motivator cuma “omdo” (omong doang). Ada juga yang sibuk
ngeles, mencoba memelintir nasehat si motivator dengan argumen dangkal. Komentar
andalan yang sering mereka pakai kurang lebih begini: “Kalau cuma ngomong doang sih gampang, prakteknya susah, Pak!”
Hadeeeh… Saya
tidak habis pikir. Namanya juga motivator, tidak salah kalau dia rajin membagi
kata-kata mutiara. Ibaratnya, motivator itu penjual roti. Bukankah wajar jika penjual
roti berkeliling kampung sambil berseru menjajakan dagangannya. Begitu juga
motivator. Bagaimanapun seorang motivator dihargai karena keahliannya
memotivasi orang lain. Menggelikan sekali jika kita malah nyinyir misuhi si motivator sampai berani berkomentar
miring seakan-akan kita lebih berpengetahuan dibanding si motivator.
Jangan kira seorang motivator cuma waton ngomong. Sekedar ngomong memang gampang. Tapi “ngomong
baik-baik” untuk menggugah kesadaran orang lain, mustahil bisa dilakukan
sembarang orang. Setiap kata yang dipilih harus kata-kata yang “bertenaga” dan
bisa membangkitkan motivasi. Kemampuan itu membutuhkan persiapan yang panjang, penguasaan
teori yang mumpuni, dan latihan intens selama bertahun-tahun. Karenanya, tidak semua
orang bisa menjadi motivator sukses.
Seorang motivator tidak cukup hanya piawai memahami seluk
beluk psikologi. Lebih dari itu, mereka harus memiliki kecerdasan intrapersonal
yang tinggi. Semua itu didukung dengan kecakapan public speaking dan pancaran aura kewibawaan yang membuat siapapun
tertarik untuk menyimak kata-kata si motivator.
Jika yang dilakukan motivator itu tidak salah, kenapa ia
malah punya haters ?
Well,
kita tahu, di dunia ini ada tipe-tipe orang yang bebal terhadap nasehat. Orang-orang
semacam ini menginginkan kehidupannya bebas dari kritik. Nasehat apapun yang
ditujukan pada mereka lebih sering mental dan diabaikan. Orang-orang bebal ini hanya
meyakini “kebenaran” versi mereka sendiri. Mereka baru akan “sadar” manakala
kebenaran yang mereka yakini ternyata keliru. Jika belum kena batunya, mereka tetap
keukeuh mempertahankan idealismenya, tanpa
mempedulikan nasehat orang lain. Boleh jadi, orang-orang bebal semacam itulah
yang sering nyinyir berkomentar miring terhadap nasehat si motivator.
Terlepas dari itu semua, pada dasarnya “mengkonsumsi” nasehat
secara berlebihan bisa berdampak buruk bagi rohani kita. Itu bisa terjadi jika kita tidak mengimbangi nasehat dengan
tindakan nyata dan perbaikan diri.
Sebuah nasehat bijak seharusnya menggugah kesadaran kita untuk
segera melepaskan diri dari masalah. Tapi terkadang, nasehat itu malah menjadi “candu”
yang membuat kita berpikir masalah kita akan selesai karena nasehat itu. Padahal,
masalah akan tetap ada sampai kita tergerak untuk mencari solusinya. Karena itu,
harus ada keseimbangan antara nasehat yang kita dengar dan tindakan rasional
kita di dunia nyata.
Pada akhirnya, jika kalian termasuk salah satu orang yang
jengah dengan nasehat motivator, maka saran saya, berhentilah menonton atau
membaca nasehatnya. Jika kita merasa tidak setuju atau jengah dengan nasehat
itu, tidak perlu repot-repot menjadi haters
atau berkomentar miring padanya. Karena sebuah nasehat tetaplah nasehat.
Jika bukan untuk kita, boleh jadi nasehat itu bisa bermanfaat bagi orang lain. Toh
tugas motivator tetap sama: MEMOTIVASI
ORANG AGAR MELIHAT “TERANG” DALAM SETIAP MASALAH YANG DIHADAPINYA.
NB:
* dipisuhi, misuh-misuh = semacam marah-marah/ngedumel dengan tidak jelas
0 comments:
Post a Comment