Subscribe:

Labels

Wednesday 16 March 2016

Motivator Kok Dipisuhi


Jika motivator cuma modal ngomong,
kenapa tidak semua orang sukses jadi motivator?
(Hatake Niwa)

Dulu, saat saya masih sering galau, saya rajin mengikuti acara motivasi di sebuah televisi swasta. Acara tersebut ditayangkan setiap pekan. Bukan acara live sih, tapi bagi saya acara itu lumayan efektif untuk menyentil nalar dan menggugah nurani.

Setiap pekannya, si motivator membahas topik yang beragam. Biasanya, dalam acara itu si motivator melakukan dialog interaktif dengan audience yang ada di studio. Di sela-sela dialog itu, si motivator akan menyitir banyak nasehat bijak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Apapun pertanyaan dan keluhannya, si motivator selalu memiliki jawaban logisnya—seakan-akan dirinya adalah “doraemon” yang bisa mengatasi segala masalah.

Si motivator tidak hanya terkenal di layar kaca. Di dunia maya, ia juga dikenal luas oleh para netizen. Fanspage-nya di media sosial terbilang sukses. Jumlah followers-nya mencapai jutaan. Dengan fanspage itu, si motivator sering membagikan nasehat-nasehat bijaknya. Kebanyakan nasehatnya bertutur tentang kebijaksanaan hidup, hubungan antarpribadi, percintaan, dan pengembangan diri. Semuanya dikemas dalam bahasa “tingkat tinggi” yang sengaja dipilih demi menggugah motivasi para pembacanya.

Anehnya, tidak semua orang menyukai nasehat si motivator. Ada saja segelintir netizen yang nyinyir bilang si motivator cuma “omdo” (omong doang). Ada juga yang sibuk ngeles, mencoba memelintir nasehat si motivator dengan argumen dangkal. Komentar andalan yang sering mereka pakai kurang lebih begini: “Kalau cuma ngomong doang sih gampang, prakteknya susah, Pak!

Hadeeeh… Saya tidak habis pikir. Namanya juga motivator, tidak salah kalau dia rajin membagi kata-kata mutiara. Ibaratnya, motivator itu penjual roti. Bukankah wajar jika penjual roti berkeliling kampung sambil berseru menjajakan dagangannya. Begitu juga motivator. Bagaimanapun seorang motivator dihargai karena keahliannya memotivasi orang lain. Menggelikan sekali jika kita malah nyinyir misuhi si motivator sampai berani berkomentar miring seakan-akan kita lebih berpengetahuan dibanding si motivator.

Jangan kira seorang motivator cuma waton ngomong. Sekedar ngomong memang gampang. Tapi “ngomong baik-baik” untuk menggugah kesadaran orang lain, mustahil bisa dilakukan sembarang orang. Setiap kata yang dipilih harus kata-kata yang “bertenaga” dan bisa membangkitkan motivasi. Kemampuan itu membutuhkan persiapan yang panjang, penguasaan teori yang mumpuni, dan latihan intens selama bertahun-tahun. Karenanya, tidak semua orang bisa menjadi motivator sukses.

Seorang motivator tidak cukup hanya piawai memahami seluk beluk psikologi. Lebih dari itu, mereka harus memiliki kecerdasan intrapersonal yang tinggi. Semua itu didukung dengan kecakapan public speaking dan pancaran aura kewibawaan yang membuat siapapun tertarik untuk menyimak kata-kata si motivator.

Jika yang dilakukan motivator itu tidak salah, kenapa ia malah punya haters ?

Well, kita tahu, di dunia ini ada tipe-tipe orang yang bebal terhadap nasehat. Orang-orang semacam ini menginginkan kehidupannya bebas dari kritik. Nasehat apapun yang ditujukan pada mereka lebih sering mental dan diabaikan. Orang-orang bebal ini hanya meyakini “kebenaran” versi mereka sendiri. Mereka baru akan “sadar” manakala kebenaran yang mereka yakini ternyata keliru. Jika belum kena batunya, mereka tetap keukeuh mempertahankan idealismenya, tanpa mempedulikan nasehat orang lain. Boleh jadi, orang-orang bebal semacam itulah yang sering nyinyir berkomentar miring terhadap nasehat si motivator.

Terlepas dari itu semua, pada dasarnya “mengkonsumsi” nasehat secara berlebihan bisa berdampak buruk bagi rohani kita. Itu bisa terjadi jika kita tidak mengimbangi nasehat dengan tindakan nyata dan perbaikan diri.

Sebuah nasehat bijak seharusnya menggugah kesadaran kita untuk segera melepaskan diri dari masalah. Tapi terkadang, nasehat itu malah menjadi “candu” yang membuat kita berpikir masalah kita akan selesai karena nasehat itu. Padahal, masalah akan tetap ada sampai kita tergerak untuk mencari solusinya. Karena itu, harus ada keseimbangan antara nasehat yang kita dengar dan tindakan rasional kita di dunia nyata.


Pada akhirnya, jika kalian termasuk salah satu orang yang jengah dengan nasehat motivator, maka saran saya, berhentilah menonton atau membaca nasehatnya. Jika kita merasa tidak setuju atau jengah dengan nasehat itu, tidak perlu repot-repot menjadi haters atau berkomentar miring padanya. Karena sebuah nasehat tetaplah nasehat. Jika bukan untuk kita, boleh jadi nasehat itu bisa bermanfaat bagi orang lain. Toh tugas motivator tetap sama: MEMOTIVASI ORANG AGAR MELIHAT “TERANG” DALAM SETIAP MASALAH YANG DIHADAPINYA.


NB:
* dipisuhi, misuh-misuh = semacam marah-marah/ngedumel dengan tidak jelas

0 comments:

Post a Comment