Kapan ya, bisa rutin ngeblog? Pertanyaan itu seringkali
melintas di pkiran saya. Berharap blog yang barusan direnovasi ini bisa eksis.
Tapi apa daya karena alasan klasik kesibukan dan tugas-tugas lain yang lebih
primer, blog pun terbengkalai.
Sebenernya nggak cuma blog saja yang terbengkalai. Bahkan
update status di jejaring sosial pun tidak saya lakukan. Boleh jadi ini adalah
indikasi bahwa saya masih belum mencintai aktivitas menulis. Padahal kalau saya
mau percaya dan belajar dari mereka para dewa menulis seperti Emha Ainun Najib,
Arswendo, Seno Gumira Aji Dharma, Darwis Tere Liye, sampai penulis sekaliber
Pramoedya Anantha Toer, mereka mendedikasikan hidup untuk menyenangi menulis
dan berkarya lewat tulisan.
Kenapa mereka saya sebut dewa? Karena memang karyanya yang
berkualitas dan diimbangi dengan kuantitas. Saya yakin mereka menulis setiap
hari, tidak hanya puluhan—ratusan lembar tulisan dalam sehari pun jadi.. kalau
tidak demikian, mustahil karya-karya masterpiece mereka bisa mendobrak pasaran,
menjadi best seller.
Blog ini saya tujukan sekedar untuk membuat saya menyukai
aktivitas menulis. Bagi saya ini penting. Saya memiliki sebuah gejala psikis
yang saya namai: gejala “Over-Thinking.” Sebuah gejala psikis
yang membuat saya berpikir terlalu banyak terhadap hal sekecil apapun yang saya
temui. Maaf kalau istilahnya maksa banget.
Gara-gara Over-Thinking ini pula saya jadi
pribadi yang rentan depresi. Saya menjadi orang yang terlalu perasa, sulit
mengacuhkan penilaian dan respon emosional orang lain pada saya. Akibatnya
pikiran saya acapkali disesaki banyak prasangka—yang sebenarnya hanya ketakutan
psikis hasil interpretasi keliru saya terhadap sikap orang lain. Selebihnya,
saya lebih sering merasa tidak nyaman dengan apa-apa yang saya beri untuk orang
lain, takut dicap salah, cemas dinilai buruk orang lain, dan seterusnya.
Gejala Over-Thinking dalam istilah
psikologi (kebetulan saya beli salah satu buku psikologi klinis) disebut
Distorsi Kognitif. Ada banyak macam gejala distorsi kognitif. Salah satunya yaa
seperti yang saya alami—kecenderungan takut dikritik, merasa tidak bisa
melakukan sesuatu yang belum dicoba, menggeneralisasi respon buruk orang lain,
melabeli diri sendiri secara negatif, dan meramalkan hal buruk secara ekstrem.
Di antara sekian gejala distorsi kognitif tersebut,
satu-satunya jalan untuk mengatasinya adalah dengan memaksa diri saya sendiri
untuk mengubah respon kognitif. Artinya saya harus memaksa ‘membelokkan’ setiap
pikiran-pikiran buruk yang muncul dengan pikiran-pikiran lain yang lebih
positif. Dan salah satu terapi yang psikolog sarankan bagi saya adalah menulis.
Ya, tuliskan pikiran negatif yang muncul, lantas ikuti dengan pikiran positif
sebagai antitesis dari pikiran negatif tersebut.
Jadi, maafkan saya bila isi blog ini terkesan serba gue,
nggak penting, curhat melulu, atau banyak konten yang tidak pantas di dalamnya.
Maafkan saya bila Anda tidak puas dengan blog ini, karena blog saya bukan
‘barang pemuas.’ Ijinkan saya untuk belajar menjadi lebih baik. Salam.