Subscribe:

Labels

Sunday 17 May 2015

Distorsi Kognitif vs Hobi Blogging

Kapan ya, bisa rutin ngeblog? Pertanyaan itu seringkali melintas di pkiran saya. Berharap blog yang barusan direnovasi ini bisa eksis. Tapi apa daya karena alasan klasik kesibukan dan tugas-tugas lain yang lebih primer, blog pun terbengkalai.

Sebenernya nggak cuma blog saja yang terbengkalai. Bahkan update status di jejaring sosial pun tidak saya lakukan. Boleh jadi ini adalah indikasi bahwa saya masih belum mencintai aktivitas menulis. Padahal kalau saya mau percaya dan belajar dari mereka para dewa menulis seperti Emha Ainun Najib, Arswendo, Seno Gumira Aji Dharma, Darwis Tere Liye, sampai penulis sekaliber Pramoedya Anantha Toer, mereka mendedikasikan hidup untuk menyenangi menulis dan berkarya lewat tulisan.

Kenapa mereka saya sebut dewa? Karena memang karyanya yang berkualitas dan diimbangi dengan kuantitas. Saya yakin mereka menulis setiap hari, tidak hanya puluhan—ratusan lembar tulisan dalam sehari pun jadi.. kalau tidak demikian, mustahil karya-karya masterpiece mereka bisa mendobrak pasaran, menjadi best seller.

Blog ini saya tujukan sekedar untuk membuat saya menyukai aktivitas menulis. Bagi saya ini penting. Saya memiliki sebuah gejala psikis yang saya namai: gejala “Over-Thinking.” Sebuah gejala psikis yang membuat saya berpikir terlalu banyak terhadap hal sekecil apapun yang saya temui. Maaf kalau istilahnya maksa banget.

Gara-gara Over-Thinking ini pula saya jadi pribadi yang rentan depresi. Saya menjadi orang yang terlalu perasa, sulit mengacuhkan penilaian dan respon emosional orang lain pada saya. Akibatnya pikiran saya acapkali disesaki banyak prasangka—yang sebenarnya hanya ketakutan psikis hasil interpretasi keliru saya terhadap sikap orang lain. Selebihnya, saya lebih sering merasa tidak nyaman dengan apa-apa yang saya beri untuk orang lain, takut dicap salah, cemas dinilai buruk orang lain, dan seterusnya.

Gejala Over-Thinking dalam istilah psikologi (kebetulan saya beli salah satu buku psikologi klinis) disebut Distorsi Kognitif. Ada banyak macam gejala distorsi kognitif. Salah satunya yaa seperti yang saya alami—kecenderungan takut dikritik, merasa tidak bisa melakukan sesuatu yang belum dicoba, menggeneralisasi respon buruk orang lain, melabeli diri sendiri secara negatif, dan meramalkan hal buruk secara ekstrem.

Di antara sekian gejala distorsi kognitif tersebut, satu-satunya jalan untuk mengatasinya adalah dengan memaksa diri saya sendiri untuk mengubah respon kognitif. Artinya saya harus memaksa ‘membelokkan’ setiap pikiran-pikiran buruk yang muncul dengan pikiran-pikiran lain yang lebih positif. Dan salah satu terapi yang psikolog sarankan bagi saya adalah menulis. Ya, tuliskan pikiran negatif yang muncul, lantas ikuti dengan pikiran positif sebagai antitesis dari pikiran negatif tersebut.


Jadi, maafkan saya bila isi blog ini terkesan serba gue, nggak penting, curhat melulu, atau banyak konten yang tidak pantas di dalamnya. Maafkan saya bila Anda tidak puas dengan blog ini, karena blog saya bukan ‘barang pemuas.’ Ijinkan saya untuk belajar menjadi lebih baik. Salam.