Seorang ibu
bersama anaknya tengah berjalan puang menuju rumah. Keduanya harus melewati
sebuah lorong yang oleh penduduk sekitar dipercayai berhantu. Hari telah
menjelang malam. Jalanan begitu senyap. Hembusan angin menggoyang-goyang
rerimbunan pohon bambu di kanan kiri jalan. Suara ‘uhu’ burung hantu dari
kejauhan menambah ngeri suasana. Si Anak mulai gelisah.
“Ma, apakah di sana
ada hantu?” Si Anak mulai bertanya.
“Ya, ada.”
“Hantu seperti
apa, Ma?”
“Mama tak tahu
pasti. Mungkin wanita berambut panjang dengan jubah putih kusam.” Ibunya
menjawab meyakinkan.
“Lalu mengapa
kita harus lewat sana?”
“Kita harus
melewati lorong itu untuk pulang, Nak.”
“Bagaimana
dengan hantunya? Hantu akan menggigitku.”
“Ya, hantu itu
akan menggigitmu. Menggigit mama juga. Kau tahu, Nak. Mama juga takut. Tapi kau
adalah LAKI-LAKI, Nak. Mama berharap
kau akan melindungi Mama.”
Sejenak Si Anak
tertegun. Langkahnya agak ragu. Dekapannya ke baju ibunya semakin erat.
Keduanya
bergegas melewati lorong gelap itu. Setiap jejak langkah terasa begitu lambat.
Lorong yang lembab dan pengap itu terasa begitu panjang. Cahaya lampu di ujung
lorong serasa semakin menjauh.
“Bagaimana
sekarang? Kau melihat hantunya?” tanya
Si Anak
menggeleng.
“Kau tahu, Nak.
Seringkali rasa takut hanyalah kebohongan pikiranmu. Tapi keberanian itu di
sini. Jangan sampai ketakutanmu
mengalahkan keberanianmu yang bersemayam di sini—di hatimu,” kata sang ibu
sambil menunjuk dada Si Anak.
Anak kecil itu mengangguk.
Tak ada lagi rasa takut.
Sesampainya di kamar ia
segera membaringkan diri. Lampu-lampu kamar dimatikan. Gelap. Karena tempat
yang gelap adalah pembaringan yang paling damai untuk terlelap.