“Tuan, dari tadi Anda selalu
menyinggung tentang manusia yang menganiaya dirinya sendiri. Siapakah manusia yang
Tuan maksudkan itu?”
“Orang yang membiarkan dirinya
sendiri dalam kegelapan.”
“Maksud Tuan?”
“Ya, orang-orang yang lebih memilih terkungkung rasa tidak berdaya dan
memilih menyerah pada nasib buruk itulah manusia yang menganiaya dirinya
sendiri. Orang yang membiarkan dirinya sendiri menjadi bodoh, tanpa kemauan untuk
menambah ilmunya juga termasuk menganiaya dirinya sendiri. Atau orang miskin
yang membiarkan kemiskinan itu menyengsarakannya tanpa sekalipun mencoba
kesempatan yang datang untuk mengubah nasib.”
“Banyak sekali, Tuan. Tapi bagaimana
jika itu takdir?
Seandainya takdirnya saya memang miskin bagaimana, Tuan?”
“Kau berbicara seakan-akan kau
bisa membaca takdir. Padahal takdir itu rahasia-Nya. Yang Beliau syaratkan
adalah UPAYA-mu. Kau tahu, hal apa
yang tidak mungkin bagi Tuhan?”
“Tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya,
Tuan.” Pemuda itu mengernyitkan dahi. Bingung dengan penjelasan Kakek itu.
“Ada dua hal yang ‘tidak mungkin’
bagi Tuhan, anak muda. Pertama, Tuhan tidak
mungkin tidak menyayangimu. Dan kedua, Tuhan tidak akan mengubah nasibmu kecuali
kamu BERUPAYA. Tapi bukan
berarti Tuhan tidak kuasa melakukan itu. Tuhan ‘membatasi’ kuasa-Nya agar
manusia merasa perlu berupaya,
berikhtiar, dan berdoa.”
“Tapi selama ini saya merasa sudah
melakukan semua usaha itu, Tuan. Tapi nasib saya begini-begini saja—tidak berubah.”
“Akui sajalah, anak muda. Kau
pribadi yang pemalas. Kau lebih senang menunda pekerjaan daripada
menyelesaikannya. Kau lebih senang mencari alasan daripada mencari jalan keluar.
Kau lebih senang jalan yang mudah daripada melalui jalan mendaki yang sulit. Bahkan
kau sering menghujat dirimu sendiri dan menyesali kelahiranmu di dunia ini.
Lalu apa yang bisa diharapkan dari manusia sepertimu?”
Pemuda itu terdiam. Mukanya yang
masam seketika menunduk—malu.
“Ya, Tuan. Semua itu benar. Saya
harus mulai bergegas.”
0 comments:
Post a Comment