Subscribe:

Labels

Sunday 17 May 2015

Pemuda yang Menganiaya Dirinya Sendiri

“Tuan, dari tadi Anda selalu menyinggung tentang manusia yang menganiaya dirinya sendiri. Siapakah manusia yang Tuan maksudkan itu?”

“Orang yang membiarkan dirinya sendiri dalam kegelapan.”

“Maksud Tuan?”

“Ya, orang-orang yang lebih memilih terkungkung rasa tidak berdaya dan memilih menyerah pada nasib buruk itulah manusia yang menganiaya dirinya sendiri. Orang yang membiarkan dirinya sendiri menjadi bodoh, tanpa kemauan untuk menambah ilmunya juga termasuk menganiaya dirinya sendiri. Atau orang miskin yang membiarkan kemiskinan itu menyengsarakannya tanpa sekalipun mencoba kesempatan yang datang untuk mengubah nasib.

“Banyak sekali, Tuan. Tapi bagaimana jika itu takdir? Seandainya takdirnya saya memang miskin bagaimana, Tuan?”

“Kau berbicara seakan-akan kau bisa membaca takdir. Padahal takdir itu rahasia-Nya. Yang Beliau syaratkan adalah UPAYA-mu. Kau tahu, hal apa yang tidak mungkin bagi Tuhan?”

“Tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya, Tuan.” Pemuda itu mengernyitkan dahi. Bingung dengan penjelasan Kakek itu.

“Ada dua hal yang ‘tidak mungkin’ bagi Tuhan, anak muda. Pertama, Tuhan tidak mungkin tidak menyayangimu. Dan kedua, Tuhan tidak akan mengubah nasibmu kecuali kamu BERUPAYA. Tapi bukan berarti Tuhan tidak kuasa melakukan itu. Tuhan ‘membatasi’ kuasa-Nya agar manusia merasa perlu berupaya, berikhtiar, dan berdoa.”

“Tapi selama ini saya merasa sudah melakukan semua usaha itu, Tuan. Tapi nasib saya begini-begini saja—tidak berubah.”

“Akui sajalah, anak muda. Kau pribadi yang pemalas. Kau lebih senang menunda pekerjaan daripada menyelesaikannya. Kau lebih senang mencari alasan daripada mencari jalan keluar. Kau lebih senang jalan yang mudah daripada melalui jalan mendaki yang sulit. Bahkan kau sering menghujat dirimu sendiri dan menyesali kelahiranmu di dunia ini. Lalu apa yang bisa diharapkan dari manusia sepertimu?”

Pemuda itu terdiam. Mukanya yang masam seketika menunduk—malu.



“Ya, Tuan. Semua itu benar. Saya harus mulai bergegas.”

0 comments:

Post a Comment