Saya cukup bersyukur karena tayangan ‘alay’ salah satu
stasiun TV swasta yang terkenal dengan joget absurd-nya mulai merespon teguran
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan menghentikan tayangan tersebut. Tindakan
pembenahan mulai dilakukan. Tayangan alay (memang) di-STOP, (tapi) dibikin
versi baru, judul baru, dengan cita rasa yang sama ‘alay-nya.’ Penonton
bayaran, joget absurd, musik ajip-ajip, joget lagi, dan humor dangkal dibumbui
hinaan fisik lawan bicara. Harapan saya untuk menonton tayangan TV yang lebih
bermutu kandas. Saya memutuskan tidur.
Selera setiap orang berbeda. Tapi saya yakin ada yang namanya
standar kewarasan tentang bagaimana sebuah tayangan dinilai mendidik,
menghibur, atau sekedar lawakan dangkal yang jauh dari kesan hiburan? Di mana
letak lucunya orang dipukul dengan styrofoam?
Di mana serunya ketika ada orang baik-baik dilempar tepung, cairan warna-warni?
Apa gokilnya menguak kehidupan pribadi artis dan menjadikannya guyonan seakan
yang dibicarakan merasa baik-baik saja? Saya
sambar remote lantas berganti channel. Perhatian saya tertuju ke sinetron yang
rutin tayang saat prime time. Dan
sekali lagi, hopeless.
Saya pernah hidup di jaman ketika sinetron epik macam
Keluarga Cemara, Pernikahan Dini, dan Tersanjung masih beredar. Jadi saya punya
standar sendiri tentang sinetron seperti apa yang saya bilang bermutu.
Film-film kolosal ber-genre laga
macam Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi, dan Angling Dharma pun pernah saya
acungi jempol. Bukan karena para pemerannya yang ganteng-ganteng cantik-cantik,
tapi karena saya memang menyukai orisinalitas dan keunikan cerita yang
disuguhkan.
Karenanya, pantaslah saya berang ketika film-film tersebut
di-remake dengan kesan yang jauh dari
orisinalitasnya. Ibarat penari ronggeng semok yang kian menor ditabur bedak
berlebih. Absurd.
Saya tahu sulitnya membuat skenario yang mengandalkan sistem
kejar tayang. Bukan perkara mudah membuat plot cerita berbobot dengan tetap
menjaga keruntutan jalan cerita dan interdependensi antar tokoh. Tapi ituadalah
resiko, tantangan yang harus dihadapi para sineas kita bila memang serius ingin
menggarap sinetron atau tayangan semacamnya. Ini perkara idealisme Bung. Bukan
sekedar karya sehari jadi, tapi juga menyangkut kualitas dan orisinalitas yang
tengah digali kembali dari nilai-nilai budaya tanah air.
Ironisnya, di tengah isu plagiarisme sinetron, salah satu
sinetron kita pernah diperkarakan ke ranah hukum oleh rumah produksi luar
negeri yang merasa karyanya diplagiat. Apa kita memang kurang bahan untuk
sekedar membuat cerita orisinil yang berakar dari kehidupan dan budaya
masyarakat kita? Apakah sebegitu silaunya sineas kita sampai-sampai harus
menjiplak sebagian karya orang lain hanya karena rating atau iming-iming
kesuksesan program secara instan?
Saya hanya bisa menggeleng. Hari ini, sinetron tentang bocah
ajaib dengan tongkat sihir berkekuatan supernatural dan mobil terbangnya sedang
booming. Harapnya sih sinetron ini
akan menginspirasi anak-anak dengan kisah imajinatif dan memberikan warna baru
bagi dunia persinetronan tanah air. Semoga sinetron baru ini bisa bertahan lama
sampai dibuatkan 7 sekuel. Biar lebih mirip film tentang bocah penyihir di
sekolah sihir Hogwarts dengan kedua teman sejawatnya. Eh, barangkali saya saja
yang amnesia.