Subscribe:

Labels

Sunday 17 May 2015

Sinetron-Sinetron Njiplak (Waton) Njeplak

Saya cukup bersyukur karena tayangan ‘alay’ salah satu stasiun TV swasta yang terkenal dengan joget absurd-nya mulai merespon teguran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan menghentikan tayangan tersebut. Tindakan pembenahan mulai dilakukan. Tayangan alay (memang) di-STOP, (tapi) dibikin versi baru, judul baru, dengan cita rasa yang sama ‘alay-nya.’ Penonton bayaran, joget absurd, musik ajip-ajip, joget lagi, dan humor dangkal dibumbui hinaan fisik lawan bicara. Harapan saya untuk menonton tayangan TV yang lebih bermutu kandas. Saya memutuskan tidur.

Selera setiap orang berbeda. Tapi saya yakin ada yang namanya standar kewarasan tentang bagaimana sebuah tayangan dinilai mendidik, menghibur, atau sekedar lawakan dangkal yang jauh dari kesan hiburan? Di mana letak lucunya orang dipukul dengan styrofoam? Di mana serunya ketika ada orang baik-baik dilempar tepung, cairan warna-warni? Apa gokilnya menguak kehidupan pribadi artis dan menjadikannya guyonan seakan yang dibicarakan merasa baik-baik saja? Saya sambar remote lantas berganti channel. Perhatian saya tertuju ke sinetron yang rutin tayang saat prime time. Dan sekali lagi, hopeless.

Saya pernah hidup di jaman ketika sinetron epik macam Keluarga Cemara, Pernikahan Dini, dan Tersanjung masih beredar. Jadi saya punya standar sendiri tentang sinetron seperti apa yang saya bilang bermutu. Film-film kolosal ber-genre laga macam Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi, dan Angling Dharma pun pernah saya acungi jempol. Bukan karena para pemerannya yang ganteng-ganteng cantik-cantik, tapi karena saya memang menyukai orisinalitas dan keunikan cerita yang disuguhkan.

Karenanya, pantaslah saya berang ketika film-film tersebut di-remake dengan kesan yang jauh dari orisinalitasnya. Ibarat penari ronggeng semok yang kian menor ditabur bedak berlebih. Absurd.

Saya tahu sulitnya membuat skenario yang mengandalkan sistem kejar tayang. Bukan perkara mudah membuat plot cerita berbobot dengan tetap menjaga keruntutan jalan cerita dan interdependensi antar tokoh. Tapi ituadalah resiko, tantangan yang harus dihadapi para sineas kita bila memang serius ingin menggarap sinetron atau tayangan semacamnya. Ini perkara idealisme Bung. Bukan sekedar karya sehari jadi, tapi juga menyangkut kualitas dan orisinalitas yang tengah digali kembali dari nilai-nilai budaya tanah air.

Ironisnya, di tengah isu plagiarisme sinetron, salah satu sinetron kita pernah diperkarakan ke ranah hukum oleh rumah produksi luar negeri yang merasa karyanya diplagiat. Apa kita memang kurang bahan untuk sekedar membuat cerita orisinil yang berakar dari kehidupan dan budaya masyarakat kita? Apakah sebegitu silaunya sineas kita sampai-sampai harus menjiplak sebagian karya orang lain hanya karena rating atau iming-iming kesuksesan program secara instan?


Saya hanya bisa menggeleng. Hari ini, sinetron tentang bocah ajaib dengan tongkat sihir berkekuatan supernatural dan mobil terbangnya sedang booming. Harapnya sih sinetron ini akan menginspirasi anak-anak dengan kisah imajinatif dan memberikan warna baru bagi dunia persinetronan tanah air. Semoga sinetron baru ini bisa bertahan lama sampai dibuatkan 7 sekuel. Biar lebih mirip film tentang bocah penyihir di sekolah sihir Hogwarts dengan kedua teman sejawatnya. Eh, barangkali saya saja yang amnesia.