“Ada siswi SMA
hamil di-DO sekolahnya.
Giliran mahasiswi hamil kok tidak
di-DO kampusnya?
Oh, betapa ‘adilnya’ si pembuat peraturan”
(Hatake Niwa)
Sebelumnya, saya
mohon maaf, jika judul di atas terlalu vulgar. Tapi yakinlah, tulisan ini tidak
ada sangkut-pautnya dengan urusan Kalijodo atau penertiban lokalisasi
sejenisnya. Kasus yang ingin saya utarakan di sini berbeda.
Ilustrasi :
Ceritanya, ada seorang
mahasiswi—sebut saja Neneng—yang kedapatan hamil di luar nikah. Neneng mengaku khilaf
saat berpacaran dengan kekasihnya yang bernama Blengur. (sebut saja begitu).
Neneng terpikat bujuk rayu dan janji manis Blengur yang mengaku akan segera menikahinya.
Blengur juga mengaku akan bertanggung jawab setelah “menyebar benih” di perut
Neneng.
Tapi setelah tahu
perihal kehamilan Neneng, Blengur ingkar janji. Bukannya segera bertanggung
jawab, Blengur malah kabur. Blengur tidak kunjung menikahi Neneng. Neneng pun tidak
terima. Neneng mencoba membawa persoalan ini ke jalur hukum. Neneng ingin
menggugat Blengur dengan tuduhan penipuan, perkosaan, dan serangkaian tindak
asusila. Harapannya, Blengur akan dijerat pasal berlapis dan “mampus” dipenjarakan.
Sayang seribu sayang,
gugatan Neneng tidak dikabulkan. Neneng tidak bisa membuktikan adanya unsur kekerasan atau paksaan yang
mengakibatkan dirinya hamil. Padahal dalam pasal
285 KUHP (pasal yang biasa dipakai untuk kasus perkosaan), harus ada unsur kekerasan
atau ancaman yang memaksa korbannya. Sementara dalam kasus Neneng, perbuatannya
dilakukan atas dasar suka sama suka.
Neneng tidak putus
asa. Dia mencoba menggugat Blengur dengan tuduhan lain, yakni pencabulan. Neneng
yakin, Blengur bisa dijerat pasal pencabulan atas dirinya. Tapi sekali lagi,
gugatan Neneng tidak dikabulkan. Alasannya, Neneng sudah berumur 21 tahun saat
terlibat “hubungan terlarang” dengan Blengur. Neneng tidak masuk kategori “anak
di bawah umur” sebagaimana yang disyaratkan pasal 81 dan 82 Undang-Undang
Perlindungan Anak (pasal yang biasa dipakai menjerat pelaku pencabulan).
Kasus Neneng pun
menjadi benang kusut yang tidak bisa diurai oleh hukum. Neneng ingin menggugat
Blengur dengan pasal 287 KUHP (pasal
tentang perzinahan) tapi urung, karena pasal itu diperuntukkan khusus bagi
mereka yang sudah menikah (memiliki pasangan sah). Neneng pun hanya bisa
menyesali perbuatannya. Ia benar-benar khilaf saat berpacaran dengan Blengur. Tapi itulah harga yang harus dibayar untuk cinta yang tidak semestinya, sampai-sampai kehormatan diri pun telah tergadaikan.
* * *
Seperti yang pernah
saya bilang di sini, saya tidak berani menyarankan orang lain untuk pacaran. Resiko terjadinya kasus seperti Neneng terlalu besar. Di luar sana, boleh jadi
ada banyak Neneng-Neneng lain yang mengalami nasib serupa—kedapatan hamil lantas ditinggal
kabur pacarnya. Jika sudah begitu, apa yang bisa dilakukan?
Pacaran sudah menjadi
aktivitas jamak di kalangan remaja. Pacaran dinilai sebagai “jalan terbaik”
menemukan cinta sejati. Banyak pelaku pacaran yang berharap pacarnya akan setia
sehidup semati, hingga mengikat janji suci, bla bla bla. Karena itu, banyak
orang rela mengorbankan apapun demi mempertahankan hubungan cintanya (atau mungkin
egonya).
Masalahnya, aktivitas
pacaran tidak bisa lepas dari interaksi intens antara dua orang berlainan jenis (LGBT di luar konteks). Interaksi intens tersebut
bisa menimbulkan stimulus emosional bagi pelakunya, entah berupa perasaan
nyaman, keakraban, rasa damai, bahkan sampai……..dorongan seksual.
Itu benar. Kita tidak
bisa naif mengabaikan variabel itu saat membahas aktivitas pacaran. Kita juga
tidak bisa menganggap sepele dengan berkata: “saya pacarannya
nggak ngapa-ngapain kok.” Saat remaja, manusia akan merasakan dorongan
seksual yang tinggi. Hal itu sudah menjadi semacam “hukum alam,” yang dialami semua
orang.
Adanya dorongan seksual
itulah yang kemudian meracuni aktivitas pacaran. Pacaran yang semula dianggap
jalan mencapai cinta sejati, malah menjadi ajang “memberi servis” pada
pasangan. Boleh jadi awalnya cuma pegangan tangan—(tapi kok) lamaaaa…banget. Kemudian
mulai berani cipika-cipiki, pelukan, cium
bibir (maaf), hingga berlanjut pada perbuatan tidak senonoh yang lebih “dewasa.”
Sekali lagi, jangan
naif membaca urusan ini dengan mengabaikan realitas yang terjadi!
Memang ada orang yang
pacarannya safe banget, cuma ngobrol,
tidak pernah kencan, dan sebagainya. Tapi berapa banyak yang seperti itu? Lebih
banyak mana dengan yang melakukan peluk-cium dan perbuatan tidak senonoh lainnya?
Seseorang yang rela
memberikan tubuhnya untuk digerayangi pacarnya, entah karena penasaran atau alasan
suka sama suka, tidak jauh beda dengan (maaf) “seorang pekerja seks” yang
menjajakan kenikmatan pada pelanggannya. Boleh jadi pekerja seks malah lebih "bermartabat" karena mereka dibayar untuk itu. Sementara seseorang yang dibutakan oleh bujuk
rayu dan dalih pembuktian cinta, dengan sukarela memberikan tubuhnya pada
pacar yang entah kapan dinikahinya. (Ironis!)
Jika kalian masih memiliki
kepedulian untuk menjaga kehormatan diri dan tidak ingin disamakan dengan
pekerja seks, maka kalian harus
melakukan sesuatu untuk menghentikan
pacar kalian yang bertindak sembrono—bukannya malah menikmati “servis gratis”
dari pacar kalian.
* * *
Dari kacamata hukum, remaja
yang belum genap 18 tahun masih tergolong “anak di bawah umur.” Golongan tersebut
masih bisa mendapat perlindungan hukum dari Undang-Undang Perlindungan Anak. Jadi,
jika kalian merasa diperlakukan tidak senonoh oleh pacar kalian, dicium,
dipeluk, atau digerayangi yang aneh-aneh, maka kalian bisa memperkarakan pacar kalian
ke pengadilan dengan tuduhan pencabulan.
Ini serius. Undang-Undang
Perlindungan Anak, khususnya pasal 81
dan 82, dibuat untuk melindungi anak di bawah umur dari ancaman kekerasan seksual
dan tindak pencabulan. Pasal-pasal itu ampuh sekali untuk menjerat orang-orang cabul
di sekitar kita. Nggak percaya?
Buktinya, tuh ada artis ngetop yang baru
saja terjerat pasal 81 dan 82 setelah terbukti mencabuli remaja cowok di bawah
umur.
Sekali lagi, jika
kalian masih peduli pada kehormatan diri, peduli pada batas-batas nilai agama, dan
peduli pada masa depan, maka kalian tidak
akan membiarkan seorang pun “menodai” kalian. Tak peduli siapa pelakunya,
kalian berhak memperkarakan setiap perilaku mesum yang kalian terima melalui
jalur hukum. Itu jika kalian memilih untuk peduli.
Tapi jika kalian
memilih tidak peduli lagi, menyerah pada alasan klise “suka sama suka” maka kalian akan pasrah saja “di-anu-anuin” sama pacar. Alih-alih merasa
berdosa, boleh jadi kalian malah sibuk menikmati “servis” dari pacar kalian. Suka
tidak suka, kalian berhasil membuat pacar kalian senang karena mendapat layanan seks gratis
tanpa harus membayar. Itulah yang saya sebut sebut menjadi
“pekerja seks” sukarela.
Sampai di sini
mungkin kalian akan nyinyir bilang, “Apa salahnya
kalau cuma ciuman, pelukan, kan nggak sampai melakukan hubungan ranjang..” Well, itu hak kalian bicara. Asal kalian
tahu saja, kebanyakan “hubungan terlarang
yang kebablasan” berawal dari kata “cuma.”
Ah,kita cuma pegangan tangan kok. Ah, kita cuma cipika-cipiki kok. Ah, kita cuma bla bla bla. Pada akhirnya, ketika
yang “cuma-cuma” itu berlanjut, maka kehormatan diri tidak bisa dikembalikan
dan waktu tidak bisa kalian putar.
* * *
Sebagian orang merasa
pacaran tidak akan seru jika cuma ngobrol dan kencan tanpa ada “servis” lain yang
lebih menggairahkan. Lebih-lebih jika pelakunya masih remaja dengan dorongan
seks yang tinggi. Dengan dalih pembuktian cinta, seseorang bisa meminta pacarnya
untuk memberikan “servis gratis“. Bujuk rayu dan janji manis—seperti
kasus Neneng—seringkali digunakan untuk meluluhkan "iman" pasangannya. Tidak jarang permintaan itu disertai unsur paksaan dan ancaman pemutusan
hubungan.
Di sisi lain, kita tidak
bisa memaksakan pacaran gaya Barat yang menganggap pacar hamil sebagai hal yang
biasa. Dalam budaya Timur, hamil di luar nikah tetap
saja aib yang tidak termaafkan dan menodai citra diri kita di mata masyarakat.
1 comments:
Kalo kasusnya Neneng sama Blengur sih. gue rasa bisa dilaporkan atas tuduhan pelecehan seksual dan tindakan tidak menyenangkan lainnya, sih.
Post a Comment