Subscribe:

Labels

Sunday 20 July 2014

MENELADANKAN KEBAIKAN DI TENGAH “JAMAN EDAN”

Seperti biasa sebagai pengisi aragraf pembuka, beberapa waktu belakangan ini, saya harus memikirkan untuk menulis lagi. Ya, meski hanya sekedar catatan lepas di blog yang belum tentu dibaca orang ini. menulis hanya saya gunakan sebagai pelepas stres. Maklumlah, saya adalah orang pemikir. Meski begitu sya bukan ilmuwan, apalagi penulis pro. Bukan! Sekali lagi bukan! Kalau pun saya memang berniat menjadi penulis pro, saya harus belajar banyak, dan yang pasti saya harus melahap lebih banyak buku. So, paragraf pertama dalam tulisan ini hanya menjadi awalan saja, kenapa saya masih mau-maunya mengisi blog ini. (skip...skip).

Hari ini saya bingung. Begitu banyaknya paradoks dalam kehidupan ini. Pemberitaan media tak pernah lepas dari perilaku pejabat korup. Setiap hari, setiap saat, ada saja berita-berita kriminal sejenis yang seakan memaksa banyak orang untuk meyakini bahwa bumi yang dipijaknya tidak aman. Serba curiga dengan orang-orang di sekitarnya, sekalipun hanya tetangga sebelah rumah. Masyarakat didesain untuk takut dengan masa depan. Serba spekulatif di tengah kondisi ekonomi yang rentan krisis. Merasa was-was manakala harus membiarkan anak-anaknya bermain ke luar, takut-takut kalau nanti para predator seksual beraksi kembali. Duh Gusti...

Amenangi jaman edan, melu edan nora tahan...

Ya, sejak pertama kali saya mengenal kalimat Ranggawarsita di atas, saya selalu meyakini kebenaran dan relevansi kalimat tersebut dengan realita yang ada saat ini. Jaman edan! Ya. Itu benar! Ranggawarsita benar-benar jujur dengan diri dan keadaan yang dilihatnya. Hanya “jaman edan” yang dapat menggambarkan bagaimana
seorang ayah tega menghamili anak kandungnya, bagaimana seorang pemuka agama terlibat skandal korupsi, bagaimana seorang aparat terlibat skandal suap, bagaimana seorang anak tega menghabisi orangtuanya, dan bagaimana kehormatan diri mudah dibeli dengan lembaran rupiah yang tiada bernilai bila benang pengamannya putus. Jadilah “jaman edan” menjadi klausa yang paling tepat untuk menggambarkan kenistaan yang setiap saat diekspos media.

Jujur, saya orang yang idealis, yang cenderung kaku dalam bersikap dan terlalu patuh pada aturan. Bisa Anda bayangkan bagaimana rasanya hidup sebagai manusia seperti saya di tengah “jaman edan” saat ini. Segala paradoks kehidupan terasa begitu menyayat relung pikiran saya. Di sisi lain saya tidak punya cukup kekuatan untuk membantu memperbaiki keadaan. Saya selalu memikirkan perubahan yang bisa saya beri untuk kehidupan ini. Toh, semuanya masih mentah. Kelabilan emosi dan kedangkalan ilmu saya masih belum cukup mumpuni untuk membawa perubahan itu. bahkan memperbaiki diri sendiri saja maish belepotan. Mana bisa bermimpi membawa perubahan besar pada dunia?

Ya, mungkin begitulah adanya. Bila kita ingin mengubah dunia, kita harus lebih dulu mengubah keadaan diri sendiri. Mengubah kebiasaan. Hingga mengubah karakter dan pola pikir kita. Dan daripada harus berkoar-koar menuntut dan memaksa orang lain untuk berbenah, lebih baik kita mulai berani meneladankan kebaikan-kebaikan pada sesama. Ya, bukan menuntut melainkan meneladankan. Semoga...

0 comments:

Post a Comment