Cinta
tanpa logika,
kalau
tidak bikin sakit, paling-paling bikin ‘’khilaf’’.
(Hatake Niwa)
Seorang bijak pernah berkata “hidup itu pilihan.” Dalam pandangan filsafat, setiap orang memiliki
apa yang disebut “kehendak bebas”. Kehendak bebas itulah yang membedakan
manusia dengan makhluk-makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Dengan kehendak bebas
itu, setiap orang bebas memilih jalan hidupnya masing-masing. Karenanya, pada
hakikatnya kehidupan ini hanya berisi pilihan-pilihan hidup. Tugas kita hanya memilih
pilihan-pilihan itu. Dan untuk setiap pilihan yang kita pilih, selalu ada
konsekuensi logis yang akan menentukan perjalanan hidup kita di masa depan.
Konsep kehendak bebas ini mencakup segala aspek kehidupan
manusia, tak terkecuali dalam hal cinta. Sebagai perasaan universal, cinta
menyediakan berbagai macam pilihan bagi kita. Pacaran, menikah, LDR, HTS, jomblo,
TTM, selingkuh, putus, dan cerai, adalah beberapa contoh pilihan dalam cinta. Tugas
kita tidak lebih dari memilih pilihan-pilihan itu dan menerima segala konsekuensinya.
Jika kita memilih pacaran misalnya. Ok, well, mungkin kita akan merasakan betapa
bahagianya memiliki kekasih. Kita bahagia, karena memiliki seseorang yang
spesial yang tulus memberikan perhatian dan kasih sayangnya pada kita. Dengan pacaran,
kita berpikir kita sudah mendapatkan calon pendamping hidup. Itu
gambaran indahnya pacaran. Tapi di sisi lain, ada saja kemungkinan buruk saat
kita memilih pacaran.
Kita tidak bisa naif mengatakan pacaran adalah cara
terbaik mencari pasangan hidup. Di satu sisi pacaran memang terlihat indah,
seperti cerita novel atau di film-film picisan. Tapi di dunia nyata, realitasnya tidak semudah itu. Bagaimana jika pacar kita ternyata orang
yang cuek? Bagaimana jika pacar kita ternyata
seorang maniak tukang selingkuh? Bagaimana jika pacar kita keburu jengah dan memilih putus ? Semua kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi
saat pacaran.
Sama halnya dengan menikah. Betapa banyak orang yang mengompori
para lajang untuk segera menikah tanpa mau mengungkap susah payahnya kehidupan berumah
tangga. Itu berbahaya sekali. Orang akan berpikir menikah itu mudah. Kemudian tanpa
berpikir panjang, ia memutuskan untuk menikah meski persiapannya pas-pasan.
Tahu-tahu setelah menikah, orang itu menyadari ternyata kehidupan rumah tangga tak
seindah kata orang. Biduk rumah tangga pun berantakan.
* * *
Seperti yang saya katakan di atas, setiap pilihan hidup memiliki konsekuensi. Kita sendirilah yang harus
bertanggung jawab atas setiap pilihan hidup yang kita ambil. Kita tidak bisa
menyalahkan orang lain, jika pilihan yang kita pilh ternyata keliru. Begitu
juga dengan pilihan hidup orang lain. Kita tidak bisa menjamin pilihan hidup
orang lain akan berdampak sama baiknya bagi kehidupan kita. Masing-masing orang
menghadapi situasi dan kondisi lingkungan yang berbeda. Karenanya,
pilihan-pilihan yang diambil pun sudah pasti berbeda.
Sebagai contoh, jika ada orang yang pacarannya awet sampai
menikah, itu tidak selalu berarti pacaran adalah pilihan terbaik untuk mendapat
pasangan. Kenyataannya, tidak sedikit orang yang pacaran sampai bertahun-tahun,
tapi akhirnya putus sebelum ke pelaminan. Begitu juga dengan orang yang sudah menikah.
Meski banyak orang mengaku bahagia setelah menikah, belum tentu setiap orang
yang menikah akan bahagia. Ada saja segelintir orang yang rumah tangganya
berantakan, meski sudah menikah bertahun-tahun lamanya.
Kita semua tahu, urusan cinta terkait dengan perasaan. Dan
setiap perasaan akan selalu menyentuh emosi. Sementara emosi hanya bisa
dikendalikan dengan LOGIKA. Cinta membutuhkan LOGIKA agar ia tetap berjalan
dalam batas-batas hubungan yang semestinya. Menyikapi cinta tanpa logika, sama
saja menyerahkan cinta pada dorongan nafsu dan pemenuhan ego pribadi.
Misalkan kita memiliki seorang pacar. Kita sangat
mencintai pacar kita dan tidak bisa berpaling darinya. Karena hanya dia yang
tahu cara membuat kita merasa nyaman. Tapi ketika pacar kita tak lagi perhatian
dan berulang kali mengecewakan kita, logika kita akan bertanya, “Apakah pacar kita memberi cinta sebesar
cinta yang kita berikan padanya? Apakah pacar kita berharap sebagaimana kita
selalu berharap padanya?”
Jika saat itu kita memperturutkan perasaan kita, maka
yang terjadi kemudian adalah kita “membenarkan” setiap perlakuan buruk dan kekecewaan
yang kita terima. Kita selalu memaafkan pacar, dengan harapan suatu saat
pacar kita akan sadar dan berubah. Kita yakin itu, karena cinta selalu memaafkan. Ya, memang benar cinta selalu
memaafkan. Tapi ketika orang yang dimaafkan tidak kunjung memperbaiki diri, apa
lagi yang bisa kita percaya dari cinta semacam itu? Tanpa sadar, kita justru "memperkosa" makna cinta itu sendiri, dan membiarkan orang lain “memanfaatkan”
keluguan kita karena menyikapi cinta tanpa logika.
Contoh di atas hanya segelintir kasus di mana orang-orang
terjebak dalam perasaan cinta sampai mengabaikan pertimbangan logika. Di luar
itu, masih banyak kasus lain yang jauh lebih mengkhawatirkan, seperti kehamilan
di luar nikah, aborsi, kawin lari, sampai pembunuhan berencana. Semua itu bisa
terjadi, karena cinta disikapi dengan nafsu dan ego pribadi, hingga mengabaikan
batas-batas logika.
* * *
Orang pacaran bisa saja putus. Orang menikah, bisa saja bercerai. Dan jomblo pun, tak selamanya berarti kebebasan.
Dengan logika, kita belajar menerima segala konsekuensi hubungan cinta. Kita akan melihat cinta dari sisi yang berbeda—tidak hanya sisi indahnya, seperti di cerita novel atau film picisan, tapi juga mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Dengan memahami konsekuensi hubungan cinta, kita bisa menjaga cinta itu pada koridor-koridor hubungan yang sewajarnya. Kita pun lebih mudah menerima kenyataan untuk move on, ketika hubungan itu harus kandas. Karena bagi orang yang jatuh cinta, konsekuensi logisnya cuma dua: berujung derita atau berakhir bahagia. Demikian. []
1 comments:
Pak guru.. pertamax ngomen..
Hahaha
Jodoh dunia akhirat, namanya itu rahasia..
Post a Comment