"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"
(55: 13)
Ah, menjadi orang yang sempurna tampaknya menyenangkan. Tapi sudah
kodratnya manusia tercipta dengan segala kelebihan dan kelemahan. Tentu saja
hal tersebut merupakan ‘kesengajaan Tuhan’ agar manusia dapat saling
berinteraksi dan saling menolong satu sama lain. Manusia didesain memiliki
kelemahan yang mau tak mau harus diterima.
Sayangnya, menerima kelemahan ataupun kekurangan membutuhkan
kebesaran moral tersendiri. Banyak orang yang kurang puas dengan apa yang telah
dimiliki. Wajah yang sebenarnya sudah bagus rupa, terpaksa dioperasi plastik
hanya karena hidung kurang mancung. Kulit yang sudah sejak lahir putih mulus
malah sengaja dijemur agar menjadi gelap. Duh, betapa manusia seringkali lalai
mensyukuri apa yang telah Tuhan beri. Lebih memilih mengejar sesuatu yang
sifatnya kebendaan duniawi hingga menyiksa diri dan batinnya.
Sudah punya motor bagus-bagus, jadi maksa diri beli mobil
gara-gara gengsi dengan tetangga sebelah. Sudah punya android model terbaru,
tak disyukuri, malah maksain beli tablet yang konon lebih canggih karena
tergiur memiliki seperti yang teman-temannya. Owalah, dari mana bisa belajar
bersyukur kalau setiap nikmat yang Tuhan beri tak berbalas dengan rasa terima
kasih pada-Nya?
Padahal, bersyukur atas segala kelebihan dan kelemahan adalah
kunci kedamaian hidup ini. Bukan berarti kita tidak termotivasi untuk mengejar
materi dunia. Jelas bukan seperti itu maksudnya. hanya saja kita selaku manusia
harus selalu ingat pada Yang Maha Memberi. Ingat bahwa kita memiliki sesuatu di
dunia ini juga karena kehendak-Nya, karena ada campur tangan-Nya. dan sebagai
hamba-hamba-Nya yang baik tentunya kita harus berterima kasih. Bukan
seblaiknya, mengabaikan keberadaan-nya dan menganggap apa yang dimiliki sebagai
hasil kerja keras kita sendiri selama ini.
Apa jadinya bila segala harta dan materi yang susah payah kita
kumpulkan lenyap dari pelukan kita? Bayangkan bila tiba-tiba terjadi bencana
alam, misal gempa bumi besar merusak rumah dan memporak-porandakan semua materi
yang kita miliki. Apa yang tersisa bila semua itu raib begitu saja? Toh ketika
kita mati materi, uang, pangkat, jabatan, semua tak akan menolong kita. Tak
bisa menjadi penebus kesalahan kita di dunia yang tak pernah bersyukur
pada-Nya.
Mulailah berintropeksi. Untuk siapa kita hidup di dunia ini. Untuk
siapa kita mengabdi. Untuk siapa
kita bekerja
sepanjang hari. Padahal kita selalu yakin bahwa hidup di dunia tidaklah kekal.
Sangat singkat. Setidaknya kita harus mencoba untuk selalu ingat bahwa ada
kehidupan yang lebih hakiki dan abadi setelah kita pulang menghadap-Nya. Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?