Ijinkan
saya mengungkapkan satu hal saja yang cukup membingungkan bagi diri
saya pribadi. Siapa tahu di antara kalian ada yang berkenan membantu
saya menemukan jawaban atas persoalan yang sepertinya sangat sederhana
ini. Namun sebelumnya, saya tegaskan di sini bahwa saya tidak sedang
membuat sebuah generalisasi terhadap realita yang ada di sekitar kita.
Saya hanya menyajikan sudut pandang saya pribadi yang boleh jadi sangat
keliru dan menyimpang jauh dari dalil-dalil kebenaran dan logika. Saya
perlu untuk belajar. Dan untuk itulah saya perlu untuk bertanya pada
Anda yang lebih tahu daripada saya. . .
***
Hmm...boleh
jadi sampai detik ini masih banyak orang yang berjibaku, berjuang
sekuat tenaga, berkorban waktu, materi, tenaga, demi mengusung misi
pembuktian cinta. Dalam misi ini, tak sedikit di antara mereka yang
meluangkan banyak waktunya demi mengantarkan sang pujaan hati kesana
kemari dengan motor kesayangan pembelian orangtuanya. Tidak sedikit pula
yang saling bertukar bingkisan, coklat, dan kue tart setiap hari ulang
tahun atau valentine. Sebagian lagi merelakan uang tabungannya untuk
'sedikit' berbagi makanan dengan sang pujaan hati di restoran/cafe-cafe
berhiaskan temaram lampu-lampu 10 Watt. Tak sedikit pula yang setiap
malam minggu berdandan rapi, wangi, dengan parfum yang mengusik hidung
dan pakaian paling modis. Kemudian, sambil bersiul dan berdendang, ia
melangkahkan kaki menuju rumah sang pujaan hati. Kencan, apel, ngedate,
hang out, whatever lah namanya.
Haruskah
semua itu dilakukan untuk membuktikan cinta itu sendiri? apa tidak ada
cara lain yang lebih sederhana untuk memahami hal ini?
Mungkin
dengan cara seperti inilah kita bisa meyakinkan diri bahwa orang yang
kita cintai akan tetap kita miliki dan tetap mencintai kita. Sempurna,
tidak berpaling, tidak berpindah ke lain hati. Ya, saya pikir sudah
banyak orang yang beranggapan bahwa cinta itu harus dibuktikan dan
diperjuangkan. Hati yang selalu memendam gelisah membutuhkan lebih
banyak 'obat penenang' untuk memastikan bahwa orang yang kita cintai
akan selalu dekat dan tetap kita miliki.
Lihatlah,
banyak muda-mudi sekarang yang begitu gampang galau, gelisah hanya
karena sang pujaan hati tak kunjung membalas SMS. Ada saja orang-orang
yang gusar ketika orang yang dicintainya sedang mojok, asyik ngobrol
dengan seseorang yang bukan diri kita. Betapa banyak yang lamaa sekali
menggenggam HPnya erat2, sambil sesekali melongok layar HP, menghidupkan
layar sekedar mengecek apakah ada sms masuk atau tidak. Berapa banyak
orang yang melototin layar leptop, sibuuk sekali online di jejaring
sosial, hanya demi menunggu balasan coment dari orang yang sedang
dijatuh cintai? Lebay? Tidaak, tidak ada yang mengira ini sesuatu yang
lebay terutama bagi mereka yang tengah kasmaran. Begitulah...
Namun
sebongkah keheranan menyeruak dalam benak saya. Lihatlah ibu bapak,
kakek nenek (bagi yang masih punya), atau orang2 tempo doeloe lainnya di
mana saat itu TV dan HP adalah barang yang sangat langka. Lihatlah
mereka yang entah bagaimana hanya dengan prosesi sederhana: melamar,
tunangan, menikah, saling berkasih sayang, lantas mengarungi bahtera
rumah tangga. Hidup bersama, membesarkan anak-anaknya dengan penuh gurat
kebahagiaan di wajahnya. Saya sendiri merasa termasuk salah satu produk
yang dihasilkan dari proses sederhana itu. Membahagiakan sekali.
Tak
perlu ada hubungan penjajakan seperti pacaran, HTS, LDR, dsb. Tak ada
even bagi2 coklat di tanggal 14 Februari. Tak ada acara traktir-traktir
makan yang menghabiskan beribu-ribu perak. Tak ada pula aktivitas
ojek2an (baca: antar jemput sana sini). Tak ada...dan memang sepertinya
semua itu tidak diperlukan untuk sekedar membuktikan cinta. Tak perlu
semuanya. Singkatnya: AKU+KAU = KUA !? Sesederhana itu. Bayangkan betapa
herannya saya saat ini melihat paradoks sosial ini...
Hmm...seperti
memutar ulang film-film percintaan tempo doeloe, adakah kini kita temui
sepasang muda-mudi yang tanpa sengaja bertemu di halte bus, kemudian
saling tersipu-sipu malu dengan raut muka yang memerah? Adakah kini kita
temui sepasang muda-mudi yang saling salah tingkah ketika berpapasan
dengan pujaan hatinya namun tak kuasa untuk mengungkapkan perasaannya?
Si cowok berpura-pura menggaruk-garuk rambutnya yang tidak terasa gatal
hanya untuk menyembunyikan kegugupan dan wajah yang bersemu merah di
hadapan wanita yang dikaguminya. Adakah kini kita temui sepasang
muda-mudi yang di tengah lalu lalang orang di jalan mencoba menunggui
sang pujaan hati lewat dengan harapan ia akan berpapasan dengannya?
Adakah kini kita temui sepasang muda-mudi yang memendam rapat-rapat
cintanya dan seketika tersontak girang karena orang yang dikagumi itu
mengajukan diri untuk menjadi pendamping hidupnya?
Cinta
bukanlah matematika. Cinta tidak pernah pasti kapan datangnya dan kapan
perginya. Lihatlah, banyak orang yang mengaku mencintai seseorang,
namun ketika hubungan itu kandas, entah kenapa selang beberapa waktu
kemudian ia bisa membangun kembali hatinya untuk kemudian mengaku cinta
pada orang lain. Lihatlah orang yang jatuh cinta berkali-kali, kemudian
berusaha mati-matian untuk mendapatkan orang yang dicintai namun
akhirnya bertepuk sebelah tangan.
Di
sisi lain tidak sedikit mereka yang secara ekstrim langsung menjalin
ikatan pernikahan tanpa sekalipun pernah saling mengenal sebelumnya.
Entah karena keyakinan pada firman Tuhan atau karena alasan lain,
akhirnya dengan penuh tanggung jawab dan komitmen kuat untuk saling
bersama mereka dapat menjalin hubungan yang serius, penuh kebahagiaan,
dan melahirkan anak-anak yang lucu yang tertawa dengan riangnya, sembari
memintal benang-benang masa depan.
Inilah
kebingungan saya selama ini. Kebingungan yang mengundang berjuta tanya
yang belum terjawab. Saya tidak bermaksud sok suci, sok alim dengan
mengatakan pacaran itu haram, terlarang dan sebagainya. Buang jauh-jauh
asumsi itu. Saya hanya ingin mengajak Anda berpikir sejenak. Merenungkan
diri ini, merenungkan apa-apa yang telah kita jalani, mengenang
pengalaman-pengalaman ketika pertama kali kita jatuh cinta, kemudian
dengan penuh kearifan kita pun bertanya: "Apakah saya benar-benar
mencintainya? Ataukah saya hanya dipermainkan oleh egoisme pribadi,
perasaan emosional, dan obsesi kuat yang menuntut pemenuhan kebutuhan
akan kehadiran sang pujaan hati dalam kehidupan kita?"
Sekali
lagi saya bertanya: "Siapakah yang bisa memastikan bahwa orang yang
ditakdirkan menjadi pasangan hidup kita adalah orang yang sama dengan
orang yang sedang kita cintai saat ini?"
Jogja, 14 Februari 2013 di tengah rintik-rintik gerimis
0 comments:
Post a Comment