Sebal?
Rasanya kau tidak sebal karena orang lain. Kau sebal terhadap dirimu
sendiri yang tak kunjung beranjak dari kemalasan. Memaki dirimu yang tak
kunjung berjingkat menenteng tas berisi buku-buku pelajaran untuk
menyongsong hari esok yang penuh dengan berbagai tugas dan materi di
sekolah. Ya, kau habis kan hidupmu di sekolah. Seharian penuh kau berada
di skeolah. Apa yang kau dapatkan di sana hah? Ilmu? Teman? Uang? Heh,
aku yakin kau memang mendapatkan itu semua saat di sekolah. Tapi aku
yakin kau tak pernah mampu memaknai aktivitasmu di bangku kelas.
Lihatlah
dirimu sendiri. Menyedihkan! Kau hanya datang ke kelas, mendengarkan
penjelasan guru sekedarnya, mengerjakan soal-soal latihan, dan sesekali
terkantuk-kantuk ketika mendapat ceramah gratis dari guru yang (mungkin)
terdengar membosankan. Itu di dalam kelas. Di luar kelas kau lebih
kacau! Lebih liar! Makan ini makan itu, tak peduli racun apa yang kau
masukkan dalam perut. Pewarna, pemutih, pengawet, dan “pe-” yang lainnya
tanpa sadar kau lahap dalam sekali makan. Yang penting kenyang. Nafsu
perut kenyang, nafsu yang lain pun tak mau ketinggalan.
Mojok
bareng temen cewek di perpus. Makan bareng di kantin. Jangan lupa
suap-suapannya. Seusai sekolah, tidak ketinggalan rutinitas mengantar
anak gadis orang sana sini dilakukan secara sukarela. Lalu tanpa pikir
panjang “bersilaturahmi” (baca: apel) ke rumah anak gadis orang. Dan
“untungnya” bokap nyokab si anak gadis fine-fine aja tuh.
Membiarkan dirimu berdua-duaan, asyik masyuk dengan si gadis. Ya, untuk
sementara statusnya gadis, entah berapa tahun mendatang statusnya sudah
berubah jadi apa. Tergantung kau lebih dekat dengan Tuhan atau setan.
Bulir-bulir
iman di hatimu kini kian memudar. Rutinitasmu tak lebih dari memanjakan
syahwatmu, menuruti bisikan nafsumu yang tak kunjung habis. Aku maklum
karena kau masih muda. Gejolak emosimu lebih labil daripada aku yang
telah renta. Aku hanya menyayangka kau yang dengan tanpa rasa berdosa
membohongi Tuhanmu sendiri. Sadarkah kau telah membihingi tuhanmu
sendiri? Tiap kali takbirmu bergema kau menyatakan sendiri bahwa
“sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah...” Tapi
seusai itu dengan enteng kau mendatangi pintu-pintu maksiat yang lain.
Kau habiskan sisa-sisa waktu mudamu dengan bermain-main, nongkrong,
pacaran. Dan semuanya kau lakukan dengan ringannya? Tega nian kau
berdusta pada Tuhanmu sendiri. Tanyalah pada hati kecilmu yang kini
tengah tersiksa itu.
Yah,
begitulah. Hingga detik ini kau tak kunjung sadar bahwa kau hidup dalam
ketersia-siaan. Kau hidup sekedar menuruti apa kata orang lain. Kau
sekolah karena kau melihat teman-teman seusiamu sekolah. Kau belajar
karena kau termotivasi dengan nilai, bukan ilmu. Kau sholat hanya untuk
menggugurkan kewajiban saja tanpa sekalipun mencoba mengamalkan
nilai-nilai ibadah di dalam keseharianmu. Kau bahkan tidak pernah
menyadari untuk apa kau hidup ini. Itu fatal anakku! Celakalah orang
yang badannya hidup, tapi sejatinya (hatinya) telah mati. Celak, nak.
Sungguh celaka orang yang demikian. Aku tak ingin kau mendengar keluh
kesahku. Aku hanya ingin kau berubah. Sadari untuk apa kau hidup ini!
Aku mungkin tidak sesempurna ayah-ayah lain di dunia ini. Ayah hanya
ingin kau segera menyadari siapa dirimu sebenarnya. Ayah ingin kau
segera kembali meniti jalan yang lurus yang telah Tuhan gariskan.
Tapi
ayah bangga padamu. Kau telah memulai dengan awal yang bagus nak. Kau
telah mencoba mengatasi fitnah terbesar dalam hidupmu. Kau
berangsur-angsur telah membuka mata. Tak usah risau dengan cintamu itu.
Ayah tahu kau begitu mencintainya. Itu wajar nak. Tapi perasaanmu yang
kau umbar-umbar itu lama-kelamaan justru akan semakin hambar! Yakinlah
pada ucapan ayah ini. Semua akan jauh lebih indah bila kau menuruti
skenario cerita Sang Pemilik Cinta itu sendiri. Kau hanya perlu menjaga
hatimu nak. Jangan takut, jangan risau akan hal itu.
Ayo,
nak. Raihlah tangan ayah. Ayah tidak ingin kau terperosok lebih jauh
lagi. Mumpung kau masih belia, masih ada banyak jalan untuk kembali.
Ayah berjanji akan membantumu, nak. Ayah berjanji! Kini ayah telah di
sini. Maafkan ayah yang dulu terlanjur pergi. Membiarkanmu mencari kasih
sayang dari ‘belas kasih’ orang lain. Maafkan ayah nak. Semoga di sisa
umur ayah, aku masih bisa melihatmu meraih cita-citamu. Ayah bangga
memiliki anak sepertimu. Maafkan ayah, nak...
0 comments:
Post a Comment