Subscribe:

Labels

Wednesday 29 January 2014

Daddy Oh Daddy


Sebal? Rasanya kau tidak sebal karena orang lain. Kau sebal terhadap dirimu sendiri yang tak kunjung beranjak dari kemalasan. Memaki dirimu yang tak kunjung berjingkat menenteng tas berisi buku-buku pelajaran untuk menyongsong hari esok yang penuh dengan berbagai tugas dan materi di sekolah. Ya, kau habis kan hidupmu di sekolah. Seharian penuh kau berada di skeolah. Apa yang kau dapatkan di sana hah? Ilmu? Teman? Uang? Heh, aku yakin kau memang mendapatkan itu semua saat di sekolah. Tapi aku yakin kau tak pernah mampu memaknai aktivitasmu di bangku kelas.

Lihatlah dirimu sendiri. Menyedihkan! Kau hanya datang ke kelas, mendengarkan penjelasan guru sekedarnya, mengerjakan soal-soal latihan, dan sesekali terkantuk-kantuk ketika mendapat ceramah gratis dari guru yang (mungkin) terdengar membosankan. Itu di dalam kelas. Di luar kelas kau lebih kacau! Lebih liar! Makan ini makan itu, tak peduli racun apa yang kau masukkan dalam perut. Pewarna, pemutih, pengawet, dan “pe-” yang lainnya tanpa sadar kau lahap dalam sekali makan. Yang penting kenyang. Nafsu perut kenyang, nafsu yang lain pun tak mau ketinggalan.

Mojok bareng temen cewek di perpus. Makan bareng di kantin. Jangan lupa suap-suapannya. Seusai sekolah, tidak ketinggalan rutinitas mengantar anak gadis orang sana sini dilakukan secara sukarela. Lalu tanpa pikir panjang “bersilaturahmi” (baca: apel) ke rumah anak gadis orang. Dan “untungnya” bokap nyokab si anak gadis fine-fine aja tuh. Membiarkan dirimu berdua-duaan, asyik masyuk dengan si gadis. Ya, untuk sementara statusnya gadis, entah berapa tahun mendatang statusnya sudah berubah jadi apa. Tergantung kau lebih dekat dengan Tuhan atau setan.

Bulir-bulir iman di hatimu kini kian memudar. Rutinitasmu tak lebih dari memanjakan syahwatmu, menuruti bisikan nafsumu yang tak kunjung habis. Aku maklum karena kau masih muda. Gejolak emosimu lebih labil daripada aku yang telah renta. Aku hanya menyayangka kau yang dengan tanpa rasa berdosa membohongi Tuhanmu sendiri. Sadarkah kau telah membihingi tuhanmu sendiri? Tiap kali takbirmu bergema kau menyatakan sendiri bahwa “sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah...” Tapi seusai itu dengan enteng kau mendatangi pintu-pintu maksiat yang lain. Kau habiskan sisa-sisa waktu mudamu dengan bermain-main, nongkrong, pacaran. Dan semuanya kau lakukan dengan ringannya? Tega nian kau berdusta pada Tuhanmu sendiri. Tanyalah pada hati kecilmu yang kini tengah tersiksa itu.

Yah, begitulah. Hingga detik ini kau tak kunjung sadar bahwa kau hidup dalam ketersia-siaan. Kau hidup sekedar menuruti apa kata orang lain. Kau sekolah karena kau melihat teman-teman seusiamu sekolah. Kau belajar karena kau termotivasi dengan nilai, bukan ilmu. Kau sholat hanya untuk menggugurkan kewajiban saja tanpa sekalipun mencoba mengamalkan nilai-nilai ibadah di dalam keseharianmu. Kau bahkan tidak pernah menyadari untuk apa kau hidup ini. Itu fatal anakku! Celakalah orang yang badannya hidup, tapi sejatinya (hatinya) telah mati. Celak, nak. Sungguh celaka orang yang demikian. Aku tak ingin kau mendengar keluh kesahku. Aku hanya ingin kau berubah. Sadari untuk apa kau hidup ini! Aku mungkin tidak sesempurna ayah-ayah lain di dunia ini. Ayah hanya ingin kau segera menyadari siapa dirimu sebenarnya. Ayah ingin kau segera kembali meniti jalan yang lurus yang telah Tuhan gariskan.

Tapi ayah bangga padamu. Kau telah memulai dengan awal yang bagus nak. Kau telah mencoba mengatasi fitnah terbesar dalam hidupmu. Kau berangsur-angsur telah membuka mata. Tak usah risau dengan cintamu itu. Ayah tahu kau begitu mencintainya. Itu wajar nak. Tapi perasaanmu yang kau umbar-umbar itu lama-kelamaan justru akan semakin hambar! Yakinlah pada ucapan ayah ini. Semua akan jauh lebih indah bila kau menuruti skenario cerita Sang Pemilik Cinta itu sendiri. Kau hanya perlu menjaga hatimu nak. Jangan takut, jangan risau akan hal itu.

Ayo, nak. Raihlah tangan ayah. Ayah tidak ingin kau terperosok lebih jauh lagi. Mumpung kau masih belia, masih ada banyak jalan untuk kembali. Ayah berjanji akan membantumu, nak. Ayah berjanji! Kini ayah telah di sini. Maafkan ayah yang dulu terlanjur pergi. Membiarkanmu mencari kasih sayang dari ‘belas kasih’ orang lain. Maafkan ayah nak. Semoga di sisa umur ayah, aku masih bisa melihatmu meraih cita-citamu. Ayah bangga memiliki anak sepertimu. Maafkan ayah, nak...

0 comments:

Post a Comment