Subscribe:

Labels

Wednesday 29 January 2014

Dear Mona


Dear Mona...

Apa kabarmu di sana Mona? Baik-baik saja kah? Apa kau kurang makan di sana? Bagaimana kabar rambut hitam pekatmu yang setiap sepuluh menit sekali kau rapikan itu? Hahaha... mana mungkin aku lupa dengan kebiasaanmu di kelas dulu. Lima tahun sekelas denganmu adalah salah satu anugerah terindah yang Tuhan beri dalam hidupku. Dan selama lima tahun itu pula kau mengajarkan banyak hal padaku, juga pada semua orang. Hingga detik ini pun masih banyak orang yang merindukan kehadiranmu, termasuk diriku...

"Dian Kusuma Evinawati." Entah kenapa kau lebih suka dipanggil Mona (terdengar maksa banget deh). Gadis yang lucu, imut, periang dan jago menulis cerpen. Kerjaannya di kelas: Sibuuuk sekali menulis sesuatu di kertas memo. Entah apa lah yang kau tulis. Begitu pelajaran berakhir kau buang kertas-kertas itu. Boleh jadi kau tak pernah menyadari bahwa diam-diam aku rajin memungut kertas demi kertas yang kau buang ke tong sampah. Aku hanya tertawa geli membaca luapan perasaanmu di kertas memo itu. “HUFT,” “Hadeewww,” “Boring beud!” adalah tiga kata yang paling sering kudapati dalam kertas memo itu. Tuduh aku seorang yang kepo atau apalah. Silahkan. Aku pun takkan keberatan kalau dicap sebagai pemulung. Faktanya aku memang rajin mungutin kertas-kertas memomu dari tong sampah. Kalau kau sebal setelah mendengar pengakuanku ini, silahkan kau tempeli kotak sampah itu dengan stiker: “YANG MERASA PEMULUNG DILARANG KEPO!” Hehe...

Apa kabarmu di sana, Mon? Baik-baik saja kan? Harus kuakui bahwa aku di kelas merindukan kehadiranmu. Gadis manis dengan bandana merah yang setia nangkring di kepalanya. Gadis yang paling rajin berangkat pagi, mengerjakan piket harian yang sebenarnya bukan gilirannya. Gadis periang yang dengan sukarela meminjami PR untuk dicontek teman-teman sekelas. Kau tahu, guru Bahasa Indonesia yang sekarang jauh lebih galak dari Pak Nur lho.

Inget nggak, dulu waktu masih duduk di kelas X, Pak Nur yang tampak awet muda di usia 38 tahun adalah primadona cewek sekelas. Sampai-sampai seisi kelas sepakat memanggilnya Mas Nur. Si Ryan yang  tampangnya setara dengan Denny Sumargo saja sampai sirik dibuatnya. Barangkali kau termasuk salah satu fans Mas Nur. Sayang, semenjak kau pergi beliau juga turut pergi meninggalkan sekolah. Katanya sih mau pindah ke luar negeri. Padahal itu cuma akal-akalannya doang buat ngibulin anak-anak sekelas kalo dia mau pindah mengajar di salah satu SMA swasta di Semarang.

Apa mau dikata, Mas Nur yang ramah lingkungan itu pergi, begitu pula denganmu. Aku hanya bisa terdiam sendiri di sini berkutat dengan lembar-lembar buku yang kian kusut. Membuatku malas menjamahnya meski hanya sekian menit. Padahal ujian kini tinggal menghitung minggu. Dulu, ketika kau di sini, kau yang mengingatkanku untuk terus belajar. Ingat kan waktu kau mengajariku menulis cerpen? Ya, sebuah tugas menyebalkan yang menurutku cuma cocok buat kaum hawa. Mana ada cowok yang minat nulis cerpen? Kalaupun ada pasti jumlahnya tidak banyak. Aku tak terlalu berminat pada cerpen Mon. Menulis cerpen itu terlalu feminim dan nggak ada cocok-cocoknya buat cowok. Nulis cerpen cuma buat mereka para banci nggak jelas identitas kelaminnya yang doyan dengerin lagu-lagu cinta, galau, dan nonton FTV. Beuh! Tak terbesit di otakku untuk menulis cerpen. Gengsiku terlalu tinggi untuk melakukannya.

Dear Mona...

Kini sepertinya kau telah berhasil memaksaku untuk menjilat ludahku sendiri. Ya, faktanya karena cerpen inilah aku bisa terus mengingatmu meski tak lagi bersitatap denganmu. Aku tak pernah berhenti menulis cerpen sekedar untuk merasakan kehadiranmu. Mengenang kembali saat-saat di bawah pohon kersen di sekolah. Kau sempurna mengajarkan sesuatu yang membuatku tak dapat melupakanmu. Dengan cerpen, kau memberiku kesempatan untuk memanjakan diri dengan segala perasaan “spesial” yang hanya aku rasakan ketika bersua denganmu.

Kau memang selalu cuek dengan urusan perasaan ini. Kau tidak pernah pacaran. Kau terlalu teguh memegang prinsip pacaran setelah nikah. Jagoan basket dan primadona sekolah sekaliber Ryan pun tak kau tanggapi. Kasihan dia dulu rela hujan-hujanan cuma buat menungguimu membuka pintu rumahmu. Pembuktian cinta katanya. Omong kosong. Meski akhirnya kau bukakan pintu rumah, itu pasti bukan karena kau sudi menerima kehadirannya. Kau cuma iba dan takut dianggap sebagai tersangka atas flu yang bakal Ryan derita kalau terus-terusan kehujanan.

Hahaha...ijinkan aku kembali tertawa Mon. Kau begitu lucu. Kau begitu berbeda dari cewek-cewek kebanyakan. Kau seakan tahu bagaimana cara meninggalkan kesan dan kenangan yang terindah di relung hati setiap orang semasa sekolah dulu. Kau...kau begitu spesial di mata setiap orang. Tak seorang pun yang tahu tentang perasaanmu. Kau pintar bersandiwara, menyembunyikan setiap masalahmu agar orang lain tak terbebani dengan kehadiranmu. Meski demikian tak sedikit pula anak-anak usil yang menyalahgunakan kebaikanmu. Lima tahun kita menjalani masa-masa sekolah bersama. Dan selama 5 tahun itu pula kau menghadirkan banyak cerita yang tak bisa kutulis satu per satu di sini.

Tapi kenapa kau tak pernah jujur padaku? Kenapa kau membohongi semua orang Mon? Ya, kau telah sempurna membohongi semua orang dengan senyum manis dan wajah tegar itu. Wajah yang begitu teduh seakan kau tak pernah dirundung duka? Mungkinkah kau tidak suka dikasihani oleh orang lain hanya karena penyakit leukemiamu? Ataukah karena kau saja yang terlalu pandai bersandiwara, bersikap tegar dan tetap berlaku baik pada semua orang meski kau tahu hidupmu takkan lama?

Seandainya kau mengatakan yang sebenarnya, tak akan ada orang yang menyakitimu. Kau akan menjadi makhluk paling disayang di dunia ini. Bahkan aku pun akan berjanji untuk menjagamu apapun yang terjadi. Aku takkan membiarkanmu dimaki habis-habisan oleh Sarah sewaktu kau disangka selingkuh dengan pacarnya. Aku juga tak akan membiarkan makananmu ludes disambar gengnya Nindy. Aku takkan membiarkanmu menjadi bahan ejekan hanya gara-gara sepatu bututmu. Aku takkan membiarkan setiap PR yang kau kerjakan menjadi sasaran contekan teman-teman sekelas. Bahkan aku menyesal telah ikut nimbrung mencontek PRmu berkali-kali. Aku menyesal tidak sempat membalas setiap budi baikmu selama ini.

Satu-satunya kenangan pahit yang terssisa tentangmu hanyalah hari-hari terakhir menunggui tubuhmu yang tergolek lemah dengan detektor detak jantung yang justru menambah kesan horor di ruang perawatan. Aku tak bisa melakukan apa-apa. Lagipula aku bukan siapa-siapa untukmu, Mon. Saat itu aku hanya bisa menengadahkan kedua tangan, memohon keajaiban demi kesembuhanmu. Namun, hingga sebuah garis mendatar terpampang di layar detektor, keajaiban itu tak kunjung datang. Saat itulah untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasakan sesaknya ketika ditinggal pergi seseorang yang terlanjur kita sayangi.

Dear Mona...

Kini, genap  3 bulan kepergianmu. Hanya cerpen ini yang bisa aku tulis untuk mengingatmu. Terkesan seperti surat memang, karena aku terlampau bingung untuk menjadikan setiap momen yang kita alami bersama menjadi sebuah cerpen yang penuh makna. Mon, dirimulah yang dulu mengajariku menulis cerpen. Kini kau lihat sendiri aku telah menulisnya meski aku tahu, cerpen ini takkan pernah seapik goresan penamu. Bukankah kau berpesan bahwa langkah pertama untuk menulis adalah mengabaikan kritikan orang lain sampai tulisan kita selesai? Setidaknya hingga detik ini aku masih mematuhi nasihatmu.

Hmm... seandainya saat ini aku bisa memanggil satu malaikat, akan kutitipkan cerpen ini untukmu. Akan kuselipkan cerita ini dalam sepucuk amplop paling wangi di dunia. Meski aku belum tahu di mana letak surga itu, aku hanya berharap kau bisa meraih kebahagiaanmu di sana. Bersanding bersama belaian sayang dan kecupan lembut dari bundamu tercinta, juga orang-orang yang akan selalu mengasihimu. Lekas pejamkan matamu, Mon. Rapatkan selimut kedamaian agar kau tetap hangat. Rasakan kehangatan kasih semua orang di sini yang tak pernah berhenti mencintaimu. Semua orang hingga kini masih sibuk membisikkan rindu untukmu. Begitu pula dengan diriku...

Teruntuk malaikat-malaikat di langit, dengan kepak sayap-sayapmu yang agung, sampaikan sepucuk cerita ini, dariku untuk Mona di surga...



Your friend and secret admire,


Kevin Pratama

0 comments:

Post a Comment