Subscribe:

Labels

Sunday 14 June 2015

Berempati pada Kaum Difabel (1)

Dalam setiap keindahan selalu ada mata yang memandang, dalam setiap kebenaran selalu ada telinga yang mendengar, dan dalam setiap kasih selalu ada hati yang menerima.
(Helen Keller)

Cerita tentang kehidupan Helen Keller hanyalah satu di antara potret kaum difabel yang melampaui keterbatasan fisiknya. Ia membuka mata dunia bahwa penyandang disabilitas (kaum difabel) bukanlah produk gagal dari Tuhan. Dengan segala keterbatasan fisiknya, Helen Keller menjadi mahasiswa buta-tuli pertama yang sanggup menyelesaikan studi hingga perguruan tinggi di Universitas Radcliffe. Bukunya—“The Story of My Life”—telah menjadi literatur klasik di Amerika, ditulis dalam huruf biasa dan braille dan diterjemahkan ke dalam 50 bahasa. Helen Keller juga aktif dalam kegiatan kemanusiaan terutama dalam rangka menggalang dana bagi orang-orang buta dan tuli—meskipun dirinya sendiri adalah seorang difabel.

Selain Helen Keller, tentu kita mengenal Beethoven dan Stevie Wonder—komposer dan musisi masyhur—yang karya-karyanya begitu menginspirasi hingga sekarang. Membaca kisah sukses kaum difabel seperti mereka seharusnya membuka mata kita—bahwa kaum difabel bukanlah ‘produk gagal’ dari Tuhan. Karena pada dasarnya semua ciptaan Tuhan diciptakan dengan tujuan.

Lantas bagaimana dengan kaum difabel di sekitar kita? Menurut data Susenas tahun 2000 saja jumlah kaum difabel di Indonesia mencapai 1,46 juta penduduk. Itu baru data lama (15 tahun yang lalu). Berdasarkan data Kemenkes tahun 2011 jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 6,7 juta jiwa atau sekitar 3,11 persen dari populasi. Well, soal angka statistik (selalu) bisa diperdebatkan. Namun sulit membantah tren kenaikan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia.

Yang menjadikannya ironis, peningkatan jumah kaum difabel di negara ini tidak diikuti peningkatan kesadaran masyarakat mengakomodasi kaum difabel. Para difabel masih akrab dengan stigma dan diskriminasi. Para difabel seakan menjadi penghuni tetap kasta pariya yang terbuang dari pergumulan sosial. Implikasinya, hak-hak para difabel pun sering terabaikan.

Konsensus umum masyarakat kita adalah “normalisme.” Segala sesuatu dipandang dari kacamata kenormalan. Sesuatu yang tidak normal identik dengan ketidakwajaran. Dan ketidakwajaran lebih mudah dikonotasikan menjadi suatu keburukan. Misalnya, manusia normal memiliki dua kaki. Jika ada yang hanya memiliki satu kaki, itu tidak wajar dan mengerikan. Karena mengerikan, tidak wajar, dan alasan-alasan klise lainnya, pengucilan dan diskriminasi menjadi konsekuensi logis para penyandang disabilitas.

Saya sendiri pernah berkenalan dengan seorang penyandang disabilitas, sebut saja Danang (bukan nama sebenarnya). Karena sebuah insiden medis saat imunisasi, Danang mengalami kelumpuhan pada kakinya. Hari-harinya yang panjang pun terpaksa dilalui di atas kursi roda. Cita-citanya hanya satu—menjadi seorang dokter—kemudian menciptakan vaksin agar tidak ada lagi balita-balita malang yang bernasib sama sepertinya.

*Lanjutannya itu di sini.

0 comments:

Post a Comment