“Dalam
setiap keindahan selalu ada mata yang memandang, dalam setiap kebenaran selalu
ada telinga yang mendengar, dan dalam setiap kasih selalu ada hati yang
menerima.”
(Helen Keller)
Cerita
tentang kehidupan Helen Keller hanyalah satu di antara potret kaum difabel yang
melampaui keterbatasan fisiknya. Ia membuka mata dunia bahwa penyandang
disabilitas (kaum difabel) bukanlah produk gagal dari Tuhan. Dengan segala
keterbatasan fisiknya, Helen Keller menjadi mahasiswa buta-tuli pertama yang sanggup
menyelesaikan studi hingga perguruan tinggi di Universitas Radcliffe. Bukunya—“The Story of My Life”—telah menjadi
literatur klasik di Amerika, ditulis dalam huruf biasa dan braille dan
diterjemahkan ke dalam 50 bahasa. Helen Keller juga aktif dalam kegiatan
kemanusiaan terutama dalam rangka menggalang dana bagi orang-orang buta dan
tuli—meskipun dirinya sendiri adalah seorang difabel.
Selain Helen
Keller, tentu kita mengenal Beethoven dan Stevie Wonder—komposer dan musisi
masyhur—yang karya-karyanya begitu menginspirasi hingga sekarang. Membaca kisah
sukses kaum difabel seperti mereka seharusnya membuka mata kita—bahwa kaum
difabel bukanlah ‘produk gagal’ dari Tuhan. Karena pada dasarnya semua ciptaan
Tuhan diciptakan dengan tujuan.
Lantas
bagaimana dengan kaum difabel di sekitar kita? Menurut data Susenas tahun 2000
saja jumlah kaum difabel di Indonesia mencapai 1,46 juta penduduk. Itu baru
data lama (15 tahun yang lalu). Berdasarkan data Kemenkes tahun 2011 jumlah
penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 6,7 juta jiwa atau sekitar 3,11
persen dari populasi. Well, soal
angka statistik (selalu) bisa diperdebatkan. Namun sulit membantah tren kenaikan
jumlah penyandang disabilitas di Indonesia.
Yang
menjadikannya ironis, peningkatan jumah kaum difabel di negara ini tidak
diikuti peningkatan kesadaran masyarakat mengakomodasi kaum difabel. Para
difabel masih akrab dengan stigma dan diskriminasi. Para difabel seakan menjadi
penghuni tetap kasta pariya yang
terbuang dari pergumulan sosial. Implikasinya, hak-hak para difabel pun sering
terabaikan.
Konsensus
umum masyarakat kita adalah “normalisme.” Segala sesuatu dipandang dari
kacamata kenormalan. Sesuatu yang tidak normal identik dengan ketidakwajaran.
Dan ketidakwajaran lebih mudah dikonotasikan menjadi suatu keburukan. Misalnya,
manusia normal memiliki dua kaki. Jika ada yang hanya memiliki satu kaki, itu
tidak wajar dan mengerikan. Karena mengerikan, tidak wajar, dan alasan-alasan
klise lainnya, pengucilan dan diskriminasi menjadi konsekuensi logis para
penyandang disabilitas.
*Lanjutannya itu di sini.
0 comments:
Post a Comment