“Kita tidak bisa memaksa orang lain berlaku
semau kita. Kebanyakan orang akan selalu bertingkah semaunya sendiri. Tak
peduli yang mereka lakukan itu benar-salah pun baik-buruk.”
(Hatake Niwa)
Brruuttt...! Teman sebangku Anda terkentut.
Bau amoniak busuk segera menyebar menusuk-nusuk hidung akibat kentut yang
dilepaskan dengan teknik vibra itu. Refleks
Anda menutupi hidung, beringsut meninggalkan teman sebangku Anda yang terkekeh
dengan wajah tanpa dosa. Kesalkah Anda? Tentu saja. Tapi bisakah Anda memaksa
teman Anda tadi untuk tidak kentut sembarangan? Bisakah Anda untuk jujur meminta
teman Anda untuk menahan kentutnya sejenak? Bisa ya, bisa tidak (tergantung
kadar gas di saluran cerna teman Anda tadi).
Tapi tulisan ini tidak akan membahas soal kentutnya—melainkan
penyikapan kita pada perilaku orang lain. Seringkali kita menjumpai orang-orang
yang berperilaku tak menyenangkan, buruk, dan tidak sesuai dengan prinsip dan
keyakinan yang kita anut. Bila kita berpinsip menyenangi kebersihan, kita akan
sangat risih melihat orang di depan kita tengah mengupil dengan nikmatnya. Bila
kita punya prinsip hidup sederhana, kita akan sangat gatal menyimak orang-orang
kaya yang memamerkan perhiasan-perhiasan mahal di sekujur tubuhnya. Bila kita
berprinsip pacaran itu tidak baik, kita tidak akan tega melihat anak-anak muda
yang tengah berasyik-masyuk dengan tambatan hatinya. Singkatnya, kita selalu
ingin memaksa, melarang, dan mengharuskan orang lain untuk mengikuti apa yang
seharusnya dilakukan sesuai prinsip yang kita anut. Salahkah?
Dalam banyak hal, selama prinsip yang kita
anut benar dan sahih, sah-sah saja kita meminta orang lain untuk mengikuti
kehendak kita. Misalkan kita menangkap maling ayam kemudian menyerahkan ke
polisi sambil mengancamnya supaya si maling tidak mencuri lagi. Sikap Anda bisa
dipahami karena konsensus umum setuju bahwa mencuri itu perbuatan buruk!
Contoh lain, misalkan Anda tengah berlibur ke
sebuah pantai di Bali. Kebetulan Anda berpapasan dengan bule dengan bikini tengah
berjemur. Anda yang terbiasa mengenakan pakaian tertutup di tempat umum tentu
risih karena busana si bule yang menurut prinsip Anda tidak sopan. Tapi dalam
kondisi ini, bisakah Anda memaksa si bule untuk kembali ke hotel dan memintanya
untuk mengganti pakaiannya dengan yang lebih pantas menurut Anda? Bisa ya, bisa
pula tidak.
Ada begitu banyak paradoks dalam kehidupan
kita ini. Ada beragam kontradiksi antara yang das solen dan yang das sein—antara
hal yang seharusnya dan realita yang sebenarnya terjadi. Semuanya lumrah
terjadi dalam kehidupan seakan Tuhan memang menghendaki yang demikian. Di
tengah haru-birunya kebaikan, selalu ada sisi gelap kejahatan yang
mengiringnya. Di tengah kekhidmatan umat beribadah, ada saja segelintir jiwa
yang tega saling bunuh dan menghancurkan negeri lain tanpa belas kasih. Di
tengah perayaan pesta pernikahan yang bertabur hidangan lezat, ada saja sudut-sudut
bumi yang penduduknya tengah meratap kelaparan. Lantas di tengah semua paradoks
tersebut, dapatkah kita mengubahnya? Memaksa diri orang lain untuk berubah?
Melarang orang lain dari melakukan ini itu yang menurut kita tidak baik?
Jawabannya sama: bisa ya, bisa tidak. Tapi
ingatlah, bahwa ketika kita tidak bisa mengajak orang lain untuk mengikuti
kbebaikan yang kita lakukan, kita selalu punya pilihan untuk MENELADANKAN kebaikan-kebaikan itu.
Alih-alaih memaksa, melarang, atau mengharuskan orang lain untuk begini-begitu,
akan selalu ada jalan untuk MENELADANKAN
setiap jengkal kebaikan yang kita anut. Inilah cara teraman ketika jalur
konfrontasi, pemaksaan, dan pengharusan kepada orang lain tak lagi cukup
menggugah kesadaran orang lain.
0 comments:
Post a Comment