Subscribe:

Labels

Sunday 7 June 2015

Antara Mengharuskan, Memaksakan, dan Meneladankan

Kita tidak bisa memaksa orang lain berlaku semau kita. Kebanyakan orang akan selalu bertingkah semaunya sendiri. Tak peduli yang mereka lakukan itu benar-salah pun baik-buruk.
(Hatake Niwa)

Brruuttt...! Teman sebangku Anda terkentut. Bau amoniak busuk segera menyebar menusuk-nusuk hidung akibat kentut yang dilepaskan dengan teknik vibra itu. Refleks Anda menutupi hidung, beringsut meninggalkan teman sebangku Anda yang terkekeh dengan wajah tanpa dosa. Kesalkah Anda? Tentu saja. Tapi bisakah Anda memaksa teman Anda tadi untuk tidak kentut sembarangan? Bisakah Anda untuk jujur meminta teman Anda untuk menahan kentutnya sejenak? Bisa ya, bisa tidak (tergantung kadar gas di saluran cerna teman Anda tadi).

Tapi tulisan ini tidak akan membahas soal kentutnya—melainkan penyikapan kita pada perilaku orang lain. Seringkali kita menjumpai orang-orang yang berperilaku tak menyenangkan, buruk, dan tidak sesuai dengan prinsip dan keyakinan yang kita anut. Bila kita berpinsip menyenangi kebersihan, kita akan sangat risih melihat orang di depan kita tengah mengupil dengan nikmatnya. Bila kita punya prinsip hidup sederhana, kita akan sangat gatal menyimak orang-orang kaya yang memamerkan perhiasan-perhiasan mahal di sekujur tubuhnya. Bila kita berprinsip pacaran itu tidak baik, kita tidak akan tega melihat anak-anak muda yang tengah berasyik-masyuk dengan tambatan hatinya. Singkatnya, kita selalu ingin memaksa, melarang, dan mengharuskan orang lain untuk mengikuti apa yang seharusnya dilakukan sesuai prinsip yang kita anut. Salahkah?

Dalam banyak hal, selama prinsip yang kita anut benar dan sahih, sah-sah saja kita meminta orang lain untuk mengikuti kehendak kita. Misalkan kita menangkap maling ayam kemudian menyerahkan ke polisi sambil mengancamnya supaya si maling tidak mencuri lagi. Sikap Anda bisa dipahami karena konsensus umum setuju bahwa mencuri itu perbuatan buruk!

Contoh lain, misalkan Anda tengah berlibur ke sebuah pantai di Bali. Kebetulan Anda berpapasan dengan bule dengan bikini tengah berjemur. Anda yang terbiasa mengenakan pakaian tertutup di tempat umum tentu risih karena busana si bule yang menurut prinsip Anda tidak sopan. Tapi dalam kondisi ini, bisakah Anda memaksa si bule untuk kembali ke hotel dan memintanya untuk mengganti pakaiannya dengan yang lebih pantas menurut Anda? Bisa ya, bisa pula tidak.

Ada begitu banyak paradoks dalam kehidupan kita ini. Ada beragam kontradiksi antara yang das solen dan yang das sein—antara hal yang seharusnya dan realita yang sebenarnya terjadi. Semuanya lumrah terjadi dalam kehidupan seakan Tuhan memang menghendaki yang demikian. Di tengah haru-birunya kebaikan, selalu ada sisi gelap kejahatan yang mengiringnya. Di tengah kekhidmatan umat beribadah, ada saja segelintir jiwa yang tega saling bunuh dan menghancurkan negeri lain tanpa belas kasih. Di tengah perayaan pesta pernikahan yang bertabur hidangan lezat, ada saja sudut-sudut bumi yang penduduknya tengah meratap kelaparan. Lantas di tengah semua paradoks tersebut, dapatkah kita mengubahnya? Memaksa diri orang lain untuk berubah? Melarang orang lain dari melakukan ini itu yang menurut kita tidak baik?

Jawabannya sama: bisa ya, bisa tidak. Tapi ingatlah, bahwa ketika kita tidak bisa mengajak orang lain untuk mengikuti kbebaikan yang kita lakukan, kita selalu punya pilihan untuk MENELADANKAN kebaikan-kebaikan itu. Alih-alaih memaksa, melarang, atau mengharuskan orang lain untuk begini-begitu, akan selalu ada jalan untuk MENELADANKAN setiap jengkal kebaikan yang kita anut. Inilah cara teraman ketika jalur konfrontasi, pemaksaan, dan pengharusan kepada orang lain tak lagi cukup menggugah kesadaran orang lain.

“Meneladankan” juga merupakan suatu tahapan yang harus kita awali terlebih dahulu sebelum mengharuskan sesuatu pada orang lain. Betapa tidak tahu malunya bila kita mengharuskan sesuatu yang tidak pernah kita bangun dalam diri kita sendiri. Karenanya, teladankan kebaikan pada diri kita terlebih dahulu. Hingga kelak ketika kebaikan itu telah menjadi bagian dari diri kita, sudilah meneladankan dan mengajarkan kebaikan itu demi kemaslahatan sesama. Indahnya...

0 comments:

Post a Comment