Subscribe:

Labels

Monday 22 June 2015

Alasan Kenapa Bersikap Ramah Itu Penting

Saya selalu menyukai orang-orang ramah. Dan selalu ada ungkapan terima kasih
bagi mereka yang ikhlas dalam keramah-tamahannya.
(Hatake Niwa)

Pegawai bank, pramugari, dan operator customer service adalah segelintir profesi yang mengharuskan pelayanan ramah kepada pelanggan. Prosedur pelayanan mewajibkan hal tersebut. Biasanya mereka akan memakai senyum, salam, dan sapa untuk menunjukkan keramahannya. Saking ramahnya, seringkali keramahan mereka disalahartikan oleh ‘pelanggan nakal,’ dari yang sekedar ke-GR-an, celetuk genit, sampai ajakan kencan.

Pegawai bank, misalnya. Saya sering bertanya-tanya, apakah keramahan pegawai bank itu sebatas standar pelayanan atau memang asli bagian dari karakter mereka. Tentu saja saya bersyukur jika dalam kesehariannya, para petugas bank memberi keramahan yang sama seperti yang ditunjukkan di tempat kerja. Artinya mereka tidak munafik. Mereka tetap menujukkan keramahannya dimana saja. Hal ini baik untuk kepercayaan (trust) dan citra diri mereka di mata pelanggannya.

Sikap ramah tidak hanya memudahkan kita diterima dalam pergaulan, tapi juga dapat menunjukkan perhatian dan kepedulian kita pada orang lain. Sikap ramah juga dapat menjauhkan kita dari berbagai prasangka buruk dan mengundang kepercayaan orang lain pada diri kita.

Di dekat rumah saya ada dua warung makan. Warung makan pertama memiliki sajian yang lengkap mulai dari sayur, laup-pauk dan kudapan. Meja-meja makan tertata rapi di ruangan yang cukup luas. Pelanggan pun betah jika harus berlama-lama makan di situ. Tak heran warung pertama selalu kebanjiran pembeli. Sementara warung kedua lebih sederhana. Tempatnya tidak begitu luas dan sajiannya tidak selengkap warung pertama. Pembelinya pun tidak seramai warung pertama. Tapi poin pentingnya, saya menyukai keramahan warung kedua.

Pemilik warung kedua selalu berusaha menjalin keakraban dengan pelanggannya. Pelayannya murah senyum dan tak risih membalas ucapan terima kasih. Meski jualannya kalah lengkap dibanding warung pertama, keramahan pemilik warung menjadi nilai jual tersendiri yang belum tentu bisa ditandingi pesaingnya. Di warung pertama, saya tidak menemukan keakraban khas pembeli dan pelanggan. Pelayanannya datar-datar saja. Ditambah lagi dengan bejubelnya pembeli. Luasnya ruangan tidak sebanding dengan luasnya keramahan pelayannya. Begitu transaksi selesai, pelanggan beringsut, habis perkara. Tidak ada basa-basi terima kasih atau sekedar mengulas senyum. Pelayan warung seakan-akan ‘meneriaki’ pelanggannya: “Ini makanannya, sudah—hush hush cepet pergi sana!”

Karena itu, dalam beberapa hal saya sering memilih untuk membayar (sedikit) lebih mahal demi sebuah pelayanan yang ramah daripada membayar murah tapi diperlakukan seperti binatang peliharaan yang mengantre vaksin. Saya tidak merasa rugi mengeluarkan banyak uang jika itu sebanding dengan pelayanan yang diberikan. Saya risih jika harus menghadapi penjual yang mimik mukanya judes dan gaya bicaranya ketus. Terkadang saya harus melontarkan sedikit lelucon sekadar untuk memancing senyum ramah si penjual. Sayangnya tidak banyak usaha saya yang berhasil. Kebanyakan tetap keukeuh pada kejudesannya. Dalam hati saya berpikir, sayang sekali jika dagangan si penjual tidak laku hanya karena kurangnya keramahan penjual itu sendiri. Lebih baik tidak usah menjadi pedagang jka tidak murah senyum.

Bagi saya, keramahan ini persoalan serius. Saat kanak-kanak saya pernah mengalami trauma karena dibentak pengajar saya. Bukan apa-apa—saking trumanya, hingga sekarang saya sering mempersepsikan orang yang tidak ramah sebagai orang jahat. Begitu pula dengan orang yang keukeuh bersikap judes dan pelit senyum saat bertemu orang lain.

Sebaliknya, saya sangat menghargai orang-orang yang dengan sukarela mengulas senyum dan tidak ragu bertegur sapa. Orang-orang ini memiliki kendali emosi yang baik, tidak mudah tersulut amarahnya. Mereka tidak asing dengan bahasa keramahan karena keramahan sudah menjadi bagian dari karakternya. Siapapun pasti mudah bergaul dengan orang seperti ini.

Dari keramahan-keramahan yang saya temui, saya berpikir bagaimana seandainya keramahan itu ditransformasikan dalam lingkup yang lebih luas—di mana saja kita berada. Di rumah-rumah sakit, kantor-kantor polisi, pasar, sekolah, hingga ruas-ruas jalan raya. Semua orang di tempat itu berlaku ramah, tidak ada yang mengumbar emosi dan serapah caci-maki. Saya yakin dinamika kehidupan kita akan jauh lebih tertata dan terhindar dari kesemrawutan.

Sayangnya, kehidupan modern seringkali mengabaikan pentingnya bersikap ramah pada orang lain. Kesibukan kantor, target-target, deadline, dan rasa penat menghadapi klien, semua menjadi alat pembenaran untuk mengabaikan keramahan dalam pergaulan sosial. Begitu pula ketika di rumah. Kelelahan setelah seharian bekerja di kantor membuat orang malas bertegur sapa dengan tetangganya. Sekedar memberi senyum pun segan. Tak jarang, mereka sering asing dengan tetangga sebelah rumahnya sendiri.

Seperti yang disebut di atas, keramahan yang bermakna adalah keramahan yang ditunjukkan dengan ikhlas. Sulit untuk mempercayai orang ramah yang keramahannya penuh tipu-tipu. Orang-orang ini hanya menunjukkan keramahan ketika ada maunya saja. Senyum-senyum yang mereka tebar tak lebih dari seringai-seringai iblis. Basa-basi yang diutarakan terasa canggung—menjadi polusi bagi telinga para pendengarnya. Alih-alih keramahan justru  mereka jadikan alat untuk menjilat atasan, mencari muka, pencitraan, dan berbagai atribut kemunafikan lainnya. Keramahan yang tidak tulus adalah kesia-siaan. Kalau boleh memilih, lebih baik sikap judes yang apa adanya, daripada keramahan yang penuh kemunafikan.

Di profile akun Google+, saya tegaskan: “Saya menyukai orang-orang ramah.” Prinsip saya, keramahan adalah energi positif yang cepat atau lambat akan kembali pada kita dalam bentuk hal positif lainnya. Keramahan seorang pedagang akan mendatangkan lebih banyak pembeli dan pelanggan setia. Keramahan seorang guru akan mendatangkan kesan baik dari murid-muridnya. Sebuah senyum keramahan yang diberikan dengan tulus akan membawa kedamaian bagi siapapun yang melihatnya.

Bukan berarti keramahan yang  kita berikan demi pamrih tertentu. Melainkan kita harus meyakini bahwa keramahan yang tulus bukanlah perbuatan sia-sia. Dan di dunia ini, akan selalu ada tempat bagi orang-orang ramah untuk saling berbagi dengan sesama dalam bingkai kedamaian.