“Saya
selalu menyukai orang-orang ramah. Dan selalu ada ungkapan terima kasih
bagi mereka yang ikhlas
dalam keramah-tamahannya.”
(Hatake Niwa)
Pegawai bank,
pramugari, dan operator customer service
adalah segelintir profesi yang mengharuskan pelayanan ramah kepada pelanggan. Prosedur
pelayanan mewajibkan hal tersebut. Biasanya mereka akan memakai senyum, salam,
dan sapa untuk menunjukkan keramahannya. Saking ramahnya, seringkali keramahan
mereka disalahartikan oleh ‘pelanggan nakal,’ dari yang sekedar ke-GR-an, celetuk
genit, sampai ajakan kencan.
Pegawai bank,
misalnya. Saya sering bertanya-tanya, apakah keramahan pegawai bank itu sebatas
standar pelayanan atau memang asli bagian dari karakter mereka. Tentu saja saya
bersyukur jika dalam kesehariannya, para petugas bank memberi keramahan yang sama
seperti yang ditunjukkan di tempat kerja. Artinya mereka tidak munafik. Mereka
tetap menujukkan keramahannya dimana saja. Hal ini baik untuk kepercayaan (trust) dan citra diri mereka di mata
pelanggannya.
Sikap ramah
tidak hanya memudahkan kita diterima dalam pergaulan, tapi juga dapat menunjukkan
perhatian dan kepedulian kita pada orang lain. Sikap ramah juga dapat
menjauhkan kita dari berbagai prasangka buruk dan mengundang kepercayaan orang
lain pada diri kita.
Di dekat
rumah saya ada dua warung makan. Warung makan pertama memiliki sajian yang
lengkap mulai dari sayur, laup-pauk dan kudapan. Meja-meja makan tertata rapi
di ruangan yang cukup luas. Pelanggan pun betah jika harus berlama-lama makan
di situ. Tak heran warung pertama selalu kebanjiran pembeli. Sementara warung
kedua lebih sederhana. Tempatnya tidak begitu luas dan sajiannya tidak
selengkap warung pertama. Pembelinya pun tidak seramai warung pertama. Tapi poin
pentingnya, saya menyukai keramahan warung kedua.
Pemilik warung
kedua selalu berusaha menjalin keakraban dengan pelanggannya. Pelayannya murah
senyum dan tak risih membalas ucapan terima kasih. Meski jualannya kalah lengkap
dibanding warung pertama, keramahan pemilik warung menjadi nilai jual
tersendiri yang belum tentu bisa ditandingi pesaingnya. Di warung pertama, saya
tidak menemukan keakraban khas pembeli dan pelanggan. Pelayanannya datar-datar
saja. Ditambah lagi dengan bejubelnya pembeli. Luasnya ruangan tidak sebanding
dengan luasnya keramahan pelayannya. Begitu transaksi selesai, pelanggan
beringsut, habis perkara. Tidak ada basa-basi terima kasih atau sekedar
mengulas senyum. Pelayan warung seakan-akan ‘meneriaki’ pelanggannya: “Ini makanannya, sudah—hush hush cepet pergi
sana!”
Karena itu, dalam
beberapa hal saya sering memilih untuk membayar (sedikit) lebih mahal demi sebuah
pelayanan yang ramah daripada membayar murah tapi diperlakukan seperti binatang
peliharaan yang mengantre vaksin. Saya tidak merasa rugi mengeluarkan banyak uang
jika itu sebanding dengan pelayanan yang diberikan. Saya risih jika harus
menghadapi penjual yang mimik mukanya judes dan gaya bicaranya ketus. Terkadang
saya harus melontarkan sedikit lelucon sekadar untuk memancing senyum ramah si
penjual. Sayangnya tidak banyak usaha saya yang berhasil. Kebanyakan tetap keukeuh pada kejudesannya. Dalam hati
saya berpikir, sayang sekali jika dagangan si penjual tidak laku hanya karena kurangnya
keramahan penjual itu sendiri. Lebih baik tidak usah menjadi pedagang jka tidak
murah senyum.
Bagi saya,
keramahan ini persoalan serius. Saat kanak-kanak saya pernah mengalami trauma karena
dibentak pengajar saya. Bukan apa-apa—saking trumanya, hingga sekarang saya sering
mempersepsikan orang yang tidak ramah sebagai orang jahat. Begitu pula dengan orang
yang keukeuh bersikap judes dan pelit
senyum saat bertemu orang lain.
Sebaliknya,
saya sangat menghargai orang-orang yang dengan sukarela mengulas senyum dan tidak
ragu bertegur sapa. Orang-orang ini memiliki kendali emosi yang baik, tidak
mudah tersulut amarahnya. Mereka tidak asing dengan bahasa keramahan karena
keramahan sudah menjadi bagian dari karakternya. Siapapun pasti mudah bergaul
dengan orang seperti ini.
Dari keramahan-keramahan
yang saya temui, saya berpikir bagaimana seandainya keramahan itu
ditransformasikan dalam lingkup yang lebih luas—di mana saja kita berada. Di rumah-rumah
sakit, kantor-kantor polisi, pasar, sekolah, hingga ruas-ruas jalan raya. Semua
orang di tempat itu berlaku ramah, tidak ada yang mengumbar emosi dan serapah
caci-maki. Saya yakin dinamika kehidupan kita akan jauh lebih tertata dan terhindar
dari kesemrawutan.
Sayangnya, kehidupan
modern seringkali mengabaikan pentingnya bersikap ramah pada orang lain. Kesibukan
kantor, target-target, deadline, dan rasa
penat menghadapi klien, semua menjadi alat pembenaran untuk mengabaikan keramahan
dalam pergaulan sosial. Begitu pula ketika di rumah. Kelelahan setelah seharian
bekerja di kantor membuat orang malas bertegur sapa dengan tetangganya. Sekedar
memberi senyum pun segan. Tak jarang, mereka sering asing dengan tetangga
sebelah rumahnya sendiri.
Seperti yang
disebut di atas, keramahan yang bermakna adalah keramahan yang ditunjukkan
dengan ikhlas. Sulit untuk mempercayai orang ramah yang keramahannya penuh
tipu-tipu. Orang-orang ini hanya menunjukkan keramahan ketika ada maunya saja. Senyum-senyum
yang mereka tebar tak lebih dari seringai-seringai iblis. Basa-basi yang
diutarakan terasa canggung—menjadi polusi bagi telinga para pendengarnya. Alih-alih
keramahan justru mereka jadikan alat
untuk menjilat atasan, mencari muka, pencitraan, dan berbagai atribut
kemunafikan lainnya. Keramahan yang tidak tulus adalah kesia-siaan. Kalau boleh
memilih, lebih baik sikap judes yang apa adanya, daripada keramahan yang penuh
kemunafikan.
Di profile akun
Google+, saya tegaskan: “Saya menyukai orang-orang ramah.” Prinsip
saya, keramahan adalah energi positif yang cepat atau lambat akan kembali pada
kita dalam bentuk hal positif lainnya. Keramahan seorang pedagang akan
mendatangkan lebih banyak pembeli dan pelanggan setia. Keramahan seorang guru
akan mendatangkan kesan baik dari murid-muridnya. Sebuah senyum keramahan yang
diberikan dengan tulus akan membawa kedamaian bagi siapapun yang melihatnya.