Kau
ini siapa? Perkenalkan—namaku—“Anonym”
(H.
N.)
Entahlah
saya tak tahu harus memulai dari mana karena saya memang selalu nyaman menulis
dengan anonimitas. Jadi tulisan kita tanpa pengarang, tidak dikenal. Anonim.
Bagi saya anonimitas adalah cara teraman untuk menghindarkan diri dari sifat bangga
diri dan mengatasi rasa takut terhadap kiritik orang lain pada tulisan kita.
Bagi
saya yang sedang ingin-inginnya menulis seperti yang Anda baca sekarang,
anomimitas adalah cara teraman agar saya tidak disangka sedang menggurui dengan
tulisan ini (terlepas dari jurusan kuliah saya dulu tentunya). Karena
seringkali ketika tulisan kita selesai kemudian ktia publikasikan, ada saja
komentar-komentar bernada tidak setuju, kritik, atau bahkan mencela langsung
tulisan kita jelek. Daripada terlibat konfrontasi lebih lanjut, maka dipilihlah
jalan anonimitas. Anonim. Tulisan tanpa nama pengarangnya.
Lagipula
esensi dari sebuah tulisan adalah isi dari tulisan itu sendiri, bukan siapa
yang menulisnya (pengarangnya). Kita tentu akan lebih familiar dengan isi pembukaan
UUD 1945 daripada pusing-pusing memikirkan siapa saja tokoh-tokoh yang membuatnya.
Kita
akan lebih mudah mengingat jalan cerita cerpen Robohnya Surau Kami (dalam buku
Bahasa Indonesia) daripada mengingat siapa pengarangnya. Karena itulah yang
membedakan penulis dan artis.
Jarang-jarang
kita temui novelis, atau penulis yang menjadi sosok idola remaja pada umumnya
(semoga esok lusa situasinya berubah). Karena sejujurnya, penulis yang ikhlas
menulis tak akan memusingkan urusan ‘publikasi diri’-nya. Asalkan tulisannya
terpublikasi saja itu sudah cukup membuatnya puas. Syukur-syukur tulisannya
menginspirasi dan membawa kebaikan bagi orang banyak.
Sementara
saya? Entahlah. Saya rasa jalan anonim memang cukup aman sekedar untuk mengasah
keberanian kita menulis. Karena saya masih penulis pemula saya pun begitu.
Well, sebagai penutup ada nasihat lama yang patut kita renungkan: "Dunia ini akan lebih indah jika banyak orang
pintar berkarya dan menulis, bukan banyak bicara."