“Lulus
kuliah, dapat ijazah, dapat kerja, dapat uang, terusan nikah, hidup bahagia
membangun rumah tangga. Endingnya “...lived
happily ever after.” Hahahaha...
“Byuurrr....!!!”
seember air bekas cucian daleman mengguyurku.
Jarwo
membuyarkan lamunanku yang tengah membumbung ke loteng rumah. Sialan.
Jarwo
memaki-makiku penuh serapah. Dan karena dia adalah ‘bagian dari diriku’, maka
sudah tentu dia tahu apa yang barusan aku pikirkan. Sialan (lagi). Memangnya
salah ya kalau berangan-angan, mencoba merangkai harapan, siapa tahu ada salah
satunya yang kesampaian.
“Nggak
salah, cuma kebanyakan angan-angan hanya akan membuatmu malas. Setiap kerja
keras dimulai dari cita-cita dan keyakinan kuat mencapainya. Bukan dari
angan-angan!” jarwo meletakkan embernya.
“Lalu
apa? Suka-suka aku dong mau menyenangkan diri dengan caraku sendiri. Memangnya
salah ya dengan angan-anganku tadi? Bukannya banyak orang punya angan-angan
seperti itu?” Aku balik memprotes Jarwo.
“Memang.
Tapi kebanyakan dari mereka hanya berencana, tanpa sekalipun merumuskan langkah
konkret untuk mencapai apa yang diangan-angankan itu. Hakikat angan-angan
selalu happy ending. Tak heran jika berangan-angan rasanya nikmat. Karena
angan-angan yang selalu happy ending itulah yang memungkinkan pelakunya lari
dari kenyataan pahit kehidupan.”
“Maksudnya?”
“Ada
yang bilang angan-angan itu melenakan. Berangan-angan itu kebiasaannya orang
yang putus asa karena kenyataan di dunia tidak sesuai dengan pengharapannya.
Makanya dia memilih untuk berangan-angan. Karena dalam dunia angan-angan itulah
dia bebas memutuskan happy ending seperti apa yang seharusnya terjadi dalam
hidupnya.”
“Lantas?
Baiknya gimana?”
“Berhenti
berangan-angan. Tanamkan pada dirimu bahwa kehidupan bukan matematika dimana 1
tambah 1 pasti 2. Hidup ini relativitas yang rumit. Meskipun rumit, Tuhan tidak
ingin kita menambah rumit urusan dengan segepok keluh kesah pesimisme. Tuhan
tidak akan mengubah nasib kita jika kita sendiri tidak berupaya. Bagaimana
nasibmu berubah jika yang setiap hari kamu lakukan hanya duduk manis, tiduran,
nongkrong, godain anak orang, nggak jelas banget. Apa Tuhan sudi mengubah nasib
orang macam itu?”
“Ya
enggaklah? Terus?”
“Bandingkan
dengan seorang pengayuh becak, misalnya. Lihatlah dia...”
“Aku
kan bukan tukang becak. Susah amat mikirin tukang becak segala! Bodoh amat!”
“Heh,
udah pinter ngeles sekarang ya. Dewasa dikit lah mikirnya. Tukang becak tadi
hanya permisalan saja. Bahwa untuk memperbaiki nasib butuh kerja keras sebagai
kompensasinya. Siapa sangka tukang becak yang kamu entengin itu malah rajin
ibadah. Banyak berdoa. Tiap malam tahajud. Sehari-harinya nggak pernah masang
tarif. Tarifnya seikhlasnya. Dan karena itu becaknya malah laris. Laku
prihatinnya membuatnya mampu menyekolahkan anaknya sampai lulus.”
“Ceritanya
kok fiktif banget.”
Plak!!!
(Jarwo menjitak kepalaku).
“Berhenti
berpikir dangkal. Yang aku lakukan hanya mengajakmu berpikir. Berharap suatu
saat kamu sadar untuk tidak menyia-nyiakan masa mudamu dengan banyak berangan-angan.
Ngerti kamu?”
“Nggih,
Pak..ngerti. Dados, kulo kedah pripun sak
niki?” (Lalu aku harus bagaimana sekarang?)
“Masih
pake nanya lagi. Ya kerja! Kalau ijazahmu dokter ya kerja jadi dokter. Kalo
ijazahmu guru yo ngajar, kalau nggak punya ijazah ya cari kerjaan yang masih
mau nerima orang-orang ulet. Yang aku tekankan di sini etos kerjamu itu lho! Belajar
bekerja keras dulu. Cari tahu bagaimana meningkatkan kualitas kerjamu. Pikirkan
itu dulu. Jangan dikit-dikit mikirin gajinya berapa, bayarannya gede nggak,
kerjanya enak nggak. Rugi mempekerjakan orang yang gaji-oriented, bukan kerja-oriented.
Orang-orang yang kerjanya berkualitas banyak yang nyari kok. Selama kualitas
kerjanya bukan abal-abal atau hasil nyogok rezeki Insya Allah dapet.”
“Kesimpulannya
Pak?”
“Jadikan
dirimu manusia yang memang pantas dibantu Tuhan, pantas mendapat rezeki yang
baik-baik, dan pantas mendapatkan takdir terindah dalam kehidupan ini. Itulah
pentingnya tawakal. Bekerja keraslah, perdalam ilmumu, perbanyak berdoa, dan
ikhlaskan Tuhan menentukan kompensasi terbaik untukmu.”
Sekejap
kemudian Jarwo lenyap dari pandanganku. Aku mendapati diriku terbaring di kursi
sofa yang biasa kupakai bermalas-malasan. Kuseka pipi dengan ujung lengan
bajuku yang—basah. Ah, ilerku lagi. Dasar pemalas!
0 comments:
Post a Comment