Subscribe:

Labels

Thursday 4 June 2015

Percakapan Setengah Sadar

“Lulus kuliah, dapat ijazah, dapat kerja, dapat uang, terusan nikah, hidup bahagia membangun rumah tangga. Endingnya “...lived happily ever after.” Hahahaha...

“Byuurrr....!!!” seember air bekas cucian daleman mengguyurku.

Jarwo membuyarkan lamunanku yang tengah membumbung ke loteng rumah. Sialan.
Jarwo memaki-makiku penuh serapah. Dan karena dia adalah ‘bagian dari diriku’, maka sudah tentu dia tahu apa yang barusan aku pikirkan. Sialan (lagi). Memangnya salah ya kalau berangan-angan, mencoba merangkai harapan, siapa tahu ada salah satunya yang kesampaian.

“Nggak salah, cuma kebanyakan angan-angan hanya akan membuatmu malas. Setiap kerja keras dimulai dari cita-cita dan keyakinan kuat mencapainya. Bukan dari angan-angan!” jarwo meletakkan embernya.

“Lalu apa? Suka-suka aku dong mau menyenangkan diri dengan caraku sendiri. Memangnya salah ya dengan angan-anganku tadi? Bukannya banyak orang punya angan-angan seperti itu?” Aku balik memprotes Jarwo.

“Memang. Tapi kebanyakan dari mereka hanya berencana, tanpa sekalipun merumuskan langkah konkret untuk mencapai apa yang diangan-angankan itu. Hakikat angan-angan selalu happy ending. Tak heran jika berangan-angan rasanya nikmat. Karena angan-angan yang selalu happy ending itulah yang memungkinkan pelakunya lari dari kenyataan pahit kehidupan.”

“Maksudnya?”

“Ada yang bilang angan-angan itu melenakan. Berangan-angan itu kebiasaannya orang yang putus asa karena kenyataan di dunia tidak sesuai dengan pengharapannya. Makanya dia memilih untuk berangan-angan. Karena dalam dunia angan-angan itulah dia bebas memutuskan happy ending seperti apa yang seharusnya terjadi dalam hidupnya.”

“Lantas? Baiknya gimana?”

“Berhenti berangan-angan. Tanamkan pada dirimu bahwa kehidupan bukan matematika dimana 1 tambah 1 pasti 2. Hidup ini relativitas yang rumit. Meskipun rumit, Tuhan tidak ingin kita menambah rumit urusan dengan segepok keluh kesah pesimisme. Tuhan tidak akan mengubah nasib kita jika kita sendiri tidak berupaya. Bagaimana nasibmu berubah jika yang setiap hari kamu lakukan hanya duduk manis, tiduran, nongkrong, godain anak orang, nggak jelas banget. Apa Tuhan sudi mengubah nasib orang macam itu?”

“Ya enggaklah? Terus?”

“Bandingkan dengan seorang pengayuh becak, misalnya. Lihatlah dia...”

“Aku kan bukan tukang becak. Susah amat mikirin tukang becak segala! Bodoh amat!”

“Heh, udah pinter ngeles sekarang ya. Dewasa dikit lah mikirnya. Tukang becak tadi hanya permisalan saja. Bahwa untuk memperbaiki nasib butuh kerja keras sebagai kompensasinya. Siapa sangka tukang becak yang kamu entengin itu malah rajin ibadah. Banyak berdoa. Tiap malam tahajud. Sehari-harinya nggak pernah masang tarif. Tarifnya seikhlasnya. Dan karena itu becaknya malah laris. Laku prihatinnya membuatnya mampu menyekolahkan anaknya sampai lulus.”

“Ceritanya kok fiktif banget.”

Plak!!! (Jarwo menjitak kepalaku).

“Berhenti berpikir dangkal. Yang aku lakukan hanya mengajakmu berpikir. Berharap suatu saat kamu sadar untuk tidak menyia-nyiakan masa mudamu dengan banyak berangan-angan. Ngerti kamu?”

“Nggih, Pak..ngerti. Dados, kulo kedah pripun sak niki?” (Lalu aku harus bagaimana sekarang?)

“Masih pake nanya lagi. Ya kerja! Kalau ijazahmu dokter ya kerja jadi dokter. Kalo ijazahmu guru yo ngajar, kalau nggak punya ijazah ya cari kerjaan yang masih mau nerima orang-orang ulet. Yang aku tekankan di sini etos kerjamu itu lho! Belajar bekerja keras dulu. Cari tahu bagaimana meningkatkan kualitas kerjamu. Pikirkan itu dulu. Jangan dikit-dikit mikirin gajinya berapa, bayarannya gede nggak, kerjanya enak nggak. Rugi mempekerjakan orang yang gaji-oriented, bukan kerja-oriented. Orang-orang yang kerjanya berkualitas banyak yang nyari kok. Selama kualitas kerjanya bukan abal-abal atau hasil nyogok rezeki Insya Allah dapet.”

“Kesimpulannya Pak?”

“Jadikan dirimu manusia yang memang pantas dibantu Tuhan, pantas mendapat rezeki yang baik-baik, dan pantas mendapatkan takdir terindah dalam kehidupan ini. Itulah pentingnya tawakal. Bekerja keraslah, perdalam ilmumu, perbanyak berdoa, dan ikhlaskan Tuhan menentukan kompensasi terbaik untukmu.”

Sekejap kemudian Jarwo lenyap dari pandanganku. Aku mendapati diriku terbaring di kursi sofa yang biasa kupakai bermalas-malasan. Kuseka pipi dengan ujung lengan bajuku yang—basah. Ah, ilerku lagi. Dasar pemalas!


*) NB: saya menulis ini dengan kesadaran bahwa saya bukan orang yang suci, bukan orang yang sok benar atau sok menasehati. Sebaliknya, saya menulis ini dengan kesadaran bahwa saya adalah ‘manusia kotor’ penuh khilaf, penuh dosa, yang karenanya saya membutuhkan banyak perenungan dengan keyakinan untuk saling mengingatkan pada sesama.

0 comments:

Post a Comment