Subscribe:

Labels

Sunday 28 June 2015

Untuk Hidup Kita Butuh Konsistensi

Kita tidak tahu pada usaha ke berapa usaha kita akan berhasil.
Kita juga tidak tahu doa ke berapa yang akan Tuhan kabulkan.
Satu hal yang bisa kita lakukan—memperbanyaknya.
(Anonim)

Setetes air memang tidak akan membuat perubahan berarti pada batu yang jauh lebih keras karena kerapatan molekulnya. Tapi ketika tetesan air semakin banyak dan terjadi dalam kurun waktu puluhan tahun, batu akan mengalami pengikisan. Pada akhirnya, konsistensi air yang menetes berhasil membuat lubang pada batu itu.

Sama halnya ketika kita ingin memecah batu. Pukulan palu pertama boleh jadi tidak berhasil. Kita pun memberikan pukulan kedua, ketiga, keempat, sampai akhirnya batu itu berhasil kita pecahkan. Kita berhasil karena konsistensi kita memukulkan palu. Tapi pertanyaannya, apakah kita bisa memastikan, pada pukulan ke berapa batu itu akan pecah?

Setiap orang tidak tahu tentang masa depannya. Seakan-akan Tuhan merahasiakan masa depan kita agar setiap diri lebih mengutamakan usaha. Kita juga tidak tahu pasti berapa hasil yang kita peroleh. Kita bisa saja membuat rencana—misal rencana bisnis—sampai mengkalkulasikan prospek laba sekian-sekian. Tapi kita tidak tahu pasti seperti apa prospek laba itu menjadi kenyataan. Begitu pula dengan orangtua yang bersusah payah membesarkan anaknya, menyekolahkannya tinggi-tinggi dan memberi bekal terbaik untuk masa depan si anak. Orangtua tidak bisa menggaransi kapan waktunya si anak akan tumbuh menjadi pribadi yang dewasa, meraih sukses dan hidup berkecukupan. Justru konsistensi usaha-lah yang menjadi kepastian itu sendiri.

"Orang-orang yang konsisten pada kerja keras tentu lebih mudah untuk sukses daripada mereka yang konsisten pada kemalasan."

Tetangga saya—sebut saja Pak Agus (bukan nama sebenarnya)—juga menerapkan prinsip konsistensi. Warung Pak Agus bisa dibilang warung modern pertama di desa saya. Pelayanannya ramah dan selalu menyediakan ruang khusus untuk mainan anak-anak secara lengkap. Sejak saya TK hingga sekarang lulus kuliah, warung Pak Agus masih tetap eksis dengan ruang khusus mainan anak-anak yang ikonik. Warung Pak Agus pun menjadi salah satu referensi utama bagi anak-anak yang ingin membeli mainan di desa saya. Munculnya warung baru dengan konsep swalayan lengkap dan murah di desa saya, memang berhasil membuat satu dua warung gulung tikar. Tapi tidak halnya dengan warung Pak Agus yang tetap konsisten beroperasi di tengah mencuatnya pesaing-pesaing baru.

Di tempat lain akan lebih sering kita jumpai orang-orang yang konsisten pada profesinya. Boleh jadi mereka adalah mamang tukang sayur yang setiap pagi mendorong gerobak sayurnya berkeliling komplek. Atau guru honorer yang konsisten mengajar meski gajinya tidak seberapa. Atau buruh tani yang senantiasa bekerja keras menggarap sawah tanpa pernah tahu pasti berapa benih padi yang akan berhasil dipanennya kelak. Penghasilan mereka memang tidak bisa dibandingkan dengan profesi lain yang lebih menjanjikan seperti dokter, PNS, atau polisi. Tapi konsistensi mereka pada usahanya menyentil kehidupan kita yang ‘lembek’ dan terlalu royal mengeluhkan sedikitnya hasil.

Segala kemudahan dan kecanggihan teknologi yang kita miliki membuat kita malas. Kita tak lagi menghargai kerja keras dan menginginkan segala sesuatu yang serba instan. Perlahan etos kerja kita menurun. Kita lebih sensitif meributkan sedikitnya gaji daripada memikirkan kualitas kerja kita selama ini. Tanpa sadar kita menjadi manusia-manusia yang lebih mementingkan hasil,daripada proses.

Sebaliknya, prinsip konsistensi melekat pada proses, bukan hasil. Betapa tidak tahu dirinya jika kita mengharap hasil yang konsisten tanpa menerapkan usaha yang konsisten pula. Jangan suka meremehkan usaha orang lain yang tampak kecil karena siapa tahu Tuhan akan mengganjar mereka dengan kesuksesan di masa depan. Lagipula bagaimana mungkin kita bisa menjalani hidup ini jika kita terlalu banyak mengeluh dan terlalu mudah menyerah pada kegagalan? Karena untuk hidup, kita memerlukan konsistensi dalam berusaha, tak peduli kapan usaha itu akan membuahkan hasil.

Apakah Biil Gates pernah berpikir untuk menjadi manusia terkaya ketika memulai usahanya di bilik garasi rumahnya? Pun dengan almarhum Bob Sadino—apakah dia tahu bisnis Kemchicks yang dimulainya dengan door to door akan menjadi sesukses sekarang? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu, mereka telah membuat rencana. Mereka telah mencoba segala sumber daya yang dimiliki. Dan mereka telah melakukan usaha terbaik secara konsisten setelah berulang kali menemui kegagalan. Dan lihatlah prestasi apa yang telah Tuhan beri pada mereka sejauh ini. Karena pada prinsipnya, tidak mungkin Tuhan akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu yang berusaha mengubah nasibnya sendiri. Tak tertolak!

0 comments:

Post a Comment