“Kita tidak tahu pada usaha ke berapa usaha
kita akan berhasil.
Kita juga tidak tahu doa ke berapa yang akan Tuhan kabulkan.
Satu hal yang bisa kita lakukan—memperbanyaknya.”
(Anonim)
Setetes air
memang tidak akan membuat perubahan berarti pada batu yang jauh lebih keras
karena kerapatan molekulnya. Tapi ketika tetesan air semakin banyak dan terjadi
dalam kurun waktu puluhan tahun, batu akan mengalami pengikisan. Pada akhirnya, konsistensi air yang menetes berhasil
membuat lubang pada batu itu.
Sama halnya ketika
kita ingin memecah batu. Pukulan palu pertama boleh jadi tidak berhasil. Kita
pun memberikan pukulan kedua, ketiga, keempat, sampai akhirnya batu itu
berhasil kita pecahkan. Kita berhasil karena konsistensi kita memukulkan palu. Tapi pertanyaannya, apakah kita bisa memastikan,
pada pukulan ke berapa batu itu akan pecah?
Setiap orang tidak tahu tentang masa depannya. Seakan-akan Tuhan merahasiakan masa depan kita agar
setiap diri lebih mengutamakan usaha. Kita juga tidak tahu pasti berapa hasil yang kita peroleh. Kita bisa saja membuat rencana—misal rencana bisnis—sampai
mengkalkulasikan prospek laba sekian-sekian. Tapi kita tidak tahu pasti seperti apa prospek laba itu menjadi kenyataan. Begitu pula dengan orangtua yang bersusah
payah membesarkan anaknya, menyekolahkannya tinggi-tinggi dan memberi bekal
terbaik untuk masa depan si anak. Orangtua tidak bisa menggaransi kapan waktunya
si anak akan tumbuh menjadi pribadi yang dewasa, meraih sukses dan hidup
berkecukupan. Justru konsistensi usaha-lah yang menjadi kepastian itu sendiri.
"Orang-orang yang konsisten pada kerja keras tentu lebih mudah untuk sukses daripada mereka yang konsisten pada kemalasan."
Tetangga
saya—sebut saja Pak Agus (bukan nama sebenarnya)—juga menerapkan prinsip
konsistensi. Warung Pak Agus bisa dibilang warung modern pertama di desa saya.
Pelayanannya ramah dan selalu menyediakan ruang khusus untuk mainan anak-anak
secara lengkap. Sejak saya TK hingga sekarang lulus kuliah, warung Pak Agus
masih tetap eksis dengan ruang khusus mainan anak-anak yang ikonik. Warung Pak
Agus pun menjadi salah satu referensi utama bagi anak-anak yang ingin membeli
mainan di desa saya. Munculnya warung baru dengan konsep swalayan lengkap dan
murah di desa saya, memang berhasil membuat satu dua warung gulung tikar. Tapi
tidak halnya dengan warung Pak Agus yang tetap konsisten beroperasi di tengah
mencuatnya pesaing-pesaing baru.
Di tempat
lain akan lebih sering kita jumpai orang-orang yang konsisten pada profesinya.
Boleh jadi mereka adalah mamang tukang sayur yang setiap pagi mendorong gerobak
sayurnya berkeliling komplek. Atau guru honorer yang konsisten mengajar meski
gajinya tidak seberapa. Atau buruh tani yang senantiasa bekerja keras menggarap
sawah tanpa pernah tahu pasti berapa benih padi yang akan berhasil dipanennya
kelak. Penghasilan
mereka memang tidak bisa dibandingkan dengan profesi lain yang lebih
menjanjikan seperti dokter, PNS, atau polisi. Tapi konsistensi mereka pada
usahanya menyentil kehidupan kita yang ‘lembek’ dan terlalu royal mengeluhkan
sedikitnya hasil.
Segala kemudahan dan kecanggihan teknologi yang kita miliki
membuat kita malas. Kita tak lagi menghargai kerja keras dan menginginkan
segala sesuatu yang serba instan. Perlahan etos kerja kita menurun. Kita lebih sensitif
meributkan sedikitnya gaji daripada memikirkan kualitas kerja kita selama ini.
Tanpa sadar kita menjadi manusia-manusia yang lebih mementingkan hasil,daripada proses.
Sebaliknya,
prinsip konsistensi melekat pada proses, bukan hasil. Betapa tidak tahu dirinya
jika kita mengharap hasil yang konsisten tanpa menerapkan usaha yang konsisten
pula. Jangan suka meremehkan usaha orang lain yang tampak kecil karena siapa
tahu Tuhan akan mengganjar mereka dengan kesuksesan di masa depan. Lagipula bagaimana mungkin kita bisa menjalani hidup ini jika kita terlalu banyak mengeluh dan terlalu mudah menyerah pada kegagalan? Karena untuk hidup, kita memerlukan konsistensi dalam berusaha, tak peduli kapan usaha itu akan membuahkan hasil.
0 comments:
Post a Comment