Subscribe:

Labels

Sunday 14 June 2015

Berempati pada Kaum Difabel (2)

*Artikel ini adalah kelanjutan artikel sebelumnya Berempati pada Kaum Difabel (1)

.   .   .

Kerja keras Danang menjadikannya siswa berprestasi di sekolah. Ia pun mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke Jepang. Di sana, kaum difabel berprestasi seperti dirinya mendapat apresiasi lebih. Orang-orang lebih menghargai kualitas kerja daripada meributkan persoalan fisik. Selama kinerjamu bagus, maka akan selalu ada tempat untukmu.

Beberapa bulan tinggal di negeri orang, Danang memutuskan pulang. Danang tak sampai hati hidup jauh dari orangtuanya. Karena itu, ketika ia kembali mendapat tawaran ke Jepang, ia menolaknya. Ia pun mencoba mendaftar kuliah di perguruan tinggi lokal.

Masalah baru muncul di sini. Keterbatasan fisik Danang membuatnya dipandang sebelah mata. “Kamu nggak akan bisa…” begitu kata orang-orang yang meremehkannya. Padahal secara kecerdasan, saya yakin Danang tidak kalah. Ketika mahasiswa lain masih sibuk mengejar beasiswa ke Jepang, Danang malah sudah lebih dulu menjejakkan kursi rodanya ke negeri Sakura. Seharusnya mereka malu pada diri mereka sendiri.

Cerita tentang Danang menujukkan masih rendahnya penerimaan masyarakat kita pada kaum difabel. Kesadaran untuk memberi ruang bagi kaum difabel masih harus dibangun. Tidak banyak fasilitas umum yang didesain sedemikian rupa hingga mengakomodasi kemudahan bagi kaum difabel. Jarang-jarang kita jumpai gedung-gedung yang menyediakan bidang miring atau jalur khusus bagi pemakai kursi roda misalnya. Begitu pula di halte dan trotoar-trotoar di pinggir jalan yang masih dibuat dengan standar kompatibilitas manusia normal.

Kesadaran untuk lebih berempati dan peduli terhadap kaum difabel seharusnya tersosialisasikan dengan baik melalui pendidikan. Ironisnya, tidak semua lembaga pendidikan membuka pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas. Padahal peranan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusif sangat penting agar kaum difabel mendapatkan hak-hak pendidikannya. Jika tidak begitu, maka stigma, diskriminasi, dan skeptisme terhadap potensi kaum difabel—seperti yang dialami Danang—selamanya akan selalu ada di tengah masyarakat kita.

Kaum difabel memang kelompok minoritas. Setidaknya populasi mereka hanya 10 persen dari total penduduk bumi. Tapi bukan berarti karena mereka minoritas, kita bisa memaksa mereka mengikuti aturan main masyarakat mayoritas. Karena kesesatan pola pikir ini, sebagian kita memilih tutup mata ketika seorang buta hendak menyeberang jalan. Sebagian kita risih jika harus mendorong saudara kita di kursi roda. Kita kurung para penyandang disabilitas di ruang-ruang rehabilitasi—seakan-akan menyamakan mereka dengan para pecandu narkotik.

Mengembangkan empati terhadap kaum difabel memang tidak mudah. Itu berarti, kita harus melawan idiom “normalisme” yang terlanjur mengakar dalam masyarakat. Melawan arus stigma dan diskriminasi yang ada. Apa yang kita beri boleh jadi selalu membekas di hati mereka yang penuh kasih. Karena mereka juga manusia seutuhnya seperti kita. Hanya Tuhan menciptakannya—berbeda.

0 comments:

Post a Comment