*Artikel ini adalah kelanjutan artikel sebelumnya Berempati pada Kaum Difabel (1)
. . .
Kerja keras
Danang menjadikannya siswa berprestasi di sekolah. Ia pun mendapat kesempatan
untuk melanjutkan studi ke Jepang. Di sana, kaum difabel berprestasi seperti
dirinya mendapat apresiasi lebih. Orang-orang lebih menghargai kualitas kerja
daripada meributkan persoalan fisik. Selama kinerjamu bagus, maka akan selalu
ada tempat untukmu.
Beberapa
bulan tinggal di negeri orang, Danang memutuskan pulang. Danang tak sampai hati
hidup jauh dari orangtuanya. Karena itu, ketika ia kembali mendapat tawaran ke
Jepang, ia menolaknya. Ia pun mencoba mendaftar kuliah di perguruan tinggi
lokal.
Masalah baru
muncul di sini. Keterbatasan fisik Danang membuatnya dipandang sebelah mata. “Kamu nggak akan bisa…” begitu kata
orang-orang yang meremehkannya. Padahal secara kecerdasan, saya yakin Danang
tidak kalah. Ketika mahasiswa lain masih sibuk mengejar beasiswa ke Jepang,
Danang malah sudah lebih dulu menjejakkan kursi rodanya ke negeri Sakura. Seharusnya
mereka malu pada diri mereka sendiri.
Cerita
tentang Danang menujukkan masih rendahnya penerimaan masyarakat kita pada kaum
difabel. Kesadaran untuk memberi ruang bagi kaum difabel masih harus dibangun. Tidak
banyak fasilitas umum yang didesain sedemikian rupa hingga mengakomodasi
kemudahan bagi kaum difabel. Jarang-jarang kita jumpai gedung-gedung yang
menyediakan bidang miring atau jalur khusus bagi pemakai kursi roda misalnya. Begitu
pula di halte dan trotoar-trotoar di pinggir jalan yang masih dibuat dengan
standar kompatibilitas manusia normal.
Kesadaran
untuk lebih berempati dan peduli terhadap kaum difabel seharusnya
tersosialisasikan dengan baik melalui pendidikan. Ironisnya, tidak semua
lembaga pendidikan membuka pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas. Padahal
peranan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusif sangat
penting agar kaum difabel mendapatkan hak-hak pendidikannya. Jika tidak begitu,
maka stigma, diskriminasi, dan skeptisme terhadap potensi kaum difabel—seperti
yang dialami Danang—selamanya akan selalu ada di tengah masyarakat kita.
Kaum difabel
memang kelompok minoritas. Setidaknya populasi mereka hanya 10 persen dari
total penduduk bumi. Tapi bukan berarti karena mereka minoritas, kita bisa
memaksa mereka mengikuti aturan main masyarakat mayoritas. Karena kesesatan
pola pikir ini, sebagian kita memilih tutup mata ketika seorang buta hendak
menyeberang jalan. Sebagian kita risih jika harus mendorong saudara kita di kursi
roda. Kita kurung para penyandang disabilitas di ruang-ruang
rehabilitasi—seakan-akan menyamakan mereka dengan para pecandu narkotik.
0 comments:
Post a Comment