Subscribe:

Labels

Friday 19 June 2015

Mengapa Manusia Harus Saling Berbagi?

Anugerah terbesar dalam hidup ini adalah kehidupan itu sendiri,
dan kebahagiaan terbesar dalam hidup ini adalah dekatnya hati dengan rasa syukur
(Hatake Niwa)

Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan di mana, siapa orangtua kita, bagaimana keadaan kita ketika lahir, dan semacamnya. Kita lebih tepat dianalogikan sebagai ‘barang jadi’ yang ketika lahir sudah ditentukan garis hidupnya. Karenanya ada bayi yang dianugerahi fisik normal, kecerdasan, dan bakat tertentu. Tapi ada pula bayi yang terlahir dengan kekurangan tertentu, baik dari segi fisik maupun psikisnya. Ada bayi yang terlahir di rumah-rumah sakit kelas satu. Tapi tidak sedikit bayi-bayi yang terlahir di bilik-bilik bidan, dukun beranak, kolong jembatan, hingga lokalisasi tempat pelacuran.

Benang merah dari semua itu—kita tidak bisa memilih kondisi ketika kita dilahirkan. Kita adalah ‘barang jadi’ dengan segala kelebihan dan kelemahan yang Tuhan beri. Kita tidak punya kuasa menolak kehendak Tuhan. Apa yang Tuhan beri maka harus kita terima. Karena itu, salah satu prinsip mendasar agar kehidupan kita bahagia adalah ‘rasa syukur.’

Tapi bagaimana kita akan memahami rasa syukur jika kita dilahirkan dengan berbagai ketidakberuntungan? Misalkan ada seorang yang terlahir dengan disabilitas tertentu. Kondisi fisiknya yang serba terbatas membuatnya selalu membuthkan pertolongan orang lain. Sementara keluarganya adalah golongan kurang mampu sehingga tidak ada cukup uang untuk biaya pengobatannya. Jika kita berada pada kondisi semacam ini, bagaimana cara kita untuk bersyukur?

Sebagian kita mungkin bisa bersyukur karena terlahir dengan kemapanan tertentu. Semua kebutuhan pokok dapat terpenuhi. Kita bisa bebas melakukan apa saja tanpa terhambat disabilitas tertentu. Kita bisa bersekolah tinggi-tinggi tanpa harus menghadapi stigma. Kita bisa makan teratur dengan asupan gizi yang baik. Hidup kita terasa sangat layak dibandingkan dengan mereka yang bahkan untuk makan sehari saja sulit.

Karena itu, agama mengajarkan umatnya untuk ‘berbagi.’ Berbagi rezeki adalah sebuah manifestasi spiritualitas manusia dalam pergaulan sosial. Bisa dikatakan, ibadah seseorang belum lengkap jika dirinya tidak pernah bersedekah. Kesadaran untuk berbagi ini pula yang menjadi pembeda derajat manusia dan binatang.

Perhatikan ayam ketika diberi makan. Ayam-ayam itu saling berkelahi, berebut makanan. Ketika seekor ayam mematuk makanan, makanan yang diperoleh dibawanya pergi menjauh dari kejaran ayam lain yang berusaha merebutnya. Boleh jadi ayam-ayam itu makan bersama, tapi tidak ada ayam yang dengan sukarela memberikan makanannya untuk ayam lain. Pengecualian pada induk ayam yang memberi makan pada anak-anaknya. Di luar itu, naluri binatang tidak mengenal konsep berbagi dengan sesamanya.

Dengan berbagi, kita akan merasa kehidupan kita menjadi lebih berarti. Kita merasa bahagia ketika apa yang kita berikan dapat bermanfaat bagi orang lain. Dengan berbagi, kita menyadari bahwa ada banyak orang yang tidak seberuntung kita. Dari sanalah hati kita akan lebih dekat dengan rasa syukur.

Bandingkan dengan orang yang mementingkan dirinya sendiri. Segala usaha dilakukan hanya demi kepentingan perutnya sendiri. Tak peduli meski usahanya menyengsarakan orang lain. Prinsipnya, yang penting hidup saya enak. Yang penting duit saya banyak. Yang penting saya yang selamat—peduli setan dengan orang-orang. Orang semacam ini akan sulit meraih kedamaian dalam hidup. Alih-alih ia akan lebih rentan terkena depresi, kegelisahan, kecemasan, dan ketakutan terhadap masa depannya sendiri.

Banyak orang yang terpaku pada tujuan dan ambisi pribadinya kemudian mengabaikan spiritualitasnya. Yang terjadi kemudian, orang-orang ini mengalami kegelisahan dan keresahan karena hidupnya tak kunjung bahagia meski segala keinginannya sudah terpenuhi.

Semua hal dalam hidup ini sudah kumiliki. Harta, uang, rumah, mobil, anak, jabatan, pangkat, hidup yang berkelimpahan, semua sudah kuperoleh, lalu apa selanjutnya?

Pertanyaan ini boleh jadi menggelisahkan mereka yang sering mengabaikan kondisi spiritualitasnya. Tujuan-tujuan pribadinya memang tercapai. Tapi tujuan hakiki dalam hidupnya justru belum terentuh dan menjadi kepingan puzzle yang hilang dalam dinamika kehidupannya. Karena itu, tidak heran jika orang-orang terkaya di planet ini—seperti Bill Gates—mendermakan sebagian kekayaannya untuk kegiatan amal. Mereka membutuhkan sesuatu untuk menggenapi puzzle kehidupannya dan menjawab pertanyaan “lalu apa selanjutnya?

Berbagi tidak bisa dimaknai sebagai pengurangan jatah rezeki dari Tuhan. Jika kita menyedekahkan uang kita, secara fisik uang kita memang berkurang. Tapi secara spiritual, derajat kemanusiaan kita terangkat. Berbagi dapat menjadi jalan untuk berempati pada mereka yang tidak seberuntung kita. Sebuah jalan terindah bagi kita untuk belajar mensyukuri segala pemberian dari Tuhan.

0 comments:

Post a Comment