“Anugerah
terbesar dalam hidup ini adalah kehidupan itu sendiri,
dan kebahagiaan terbesar
dalam hidup ini adalah dekatnya hati dengan rasa syukur”
(Hatake Niwa)
Kita tidak
bisa memilih untuk dilahirkan di mana, siapa orangtua kita, bagaimana keadaan
kita ketika lahir, dan semacamnya. Kita lebih tepat dianalogikan sebagai ‘barang
jadi’ yang ketika lahir sudah ditentukan garis hidupnya. Karenanya ada bayi
yang dianugerahi fisik normal, kecerdasan, dan bakat tertentu. Tapi ada pula
bayi yang terlahir dengan kekurangan tertentu, baik dari segi fisik maupun
psikisnya. Ada bayi yang terlahir di rumah-rumah sakit kelas satu. Tapi tidak
sedikit bayi-bayi yang terlahir di bilik-bilik bidan, dukun beranak, kolong
jembatan, hingga lokalisasi tempat pelacuran.
Benang merah
dari semua itu—kita tidak bisa memilih kondisi ketika kita dilahirkan. Kita adalah
‘barang jadi’ dengan segala kelebihan dan kelemahan yang Tuhan beri. Kita tidak
punya kuasa menolak kehendak Tuhan. Apa yang Tuhan beri maka harus kita terima.
Karena itu, salah satu prinsip mendasar agar kehidupan kita bahagia adalah ‘rasa syukur.’
Tapi bagaimana
kita akan memahami rasa syukur jika kita dilahirkan dengan berbagai
ketidakberuntungan? Misalkan ada seorang yang terlahir dengan disabilitas tertentu.
Kondisi fisiknya yang serba terbatas membuatnya selalu membuthkan pertolongan
orang lain. Sementara keluarganya adalah golongan kurang mampu sehingga tidak ada
cukup uang untuk biaya pengobatannya. Jika kita berada pada kondisi semacam
ini, bagaimana cara kita untuk bersyukur?
Sebagian kita
mungkin bisa bersyukur karena terlahir dengan kemapanan tertentu. Semua
kebutuhan pokok dapat terpenuhi. Kita bisa bebas melakukan apa saja tanpa
terhambat disabilitas tertentu. Kita bisa bersekolah tinggi-tinggi tanpa harus
menghadapi stigma. Kita bisa makan teratur dengan asupan gizi yang baik. Hidup
kita terasa sangat layak dibandingkan dengan mereka yang bahkan untuk makan
sehari saja sulit.
Karena itu,
agama mengajarkan umatnya untuk ‘berbagi.’
Berbagi rezeki adalah sebuah manifestasi spiritualitas manusia dalam pergaulan
sosial. Bisa dikatakan, ibadah seseorang belum lengkap jika dirinya tidak
pernah bersedekah. Kesadaran untuk berbagi ini pula yang menjadi pembeda derajat
manusia dan binatang.
Perhatikan ayam
ketika diberi makan. Ayam-ayam itu saling berkelahi, berebut makanan. Ketika seekor
ayam mematuk makanan, makanan yang diperoleh dibawanya pergi menjauh dari
kejaran ayam lain yang berusaha merebutnya. Boleh jadi ayam-ayam itu makan
bersama, tapi tidak ada ayam yang dengan sukarela memberikan makanannya untuk
ayam lain. Pengecualian pada induk ayam yang memberi makan pada anak-anaknya. Di
luar itu, naluri binatang tidak mengenal konsep berbagi dengan sesamanya.
Dengan berbagi,
kita akan merasa kehidupan kita menjadi lebih berarti. Kita merasa bahagia ketika
apa yang kita berikan dapat bermanfaat bagi orang lain. Dengan berbagi, kita
menyadari bahwa ada banyak orang yang tidak seberuntung kita. Dari sanalah hati
kita akan lebih dekat dengan rasa syukur.
Bandingkan
dengan orang yang mementingkan dirinya sendiri. Segala usaha dilakukan hanya
demi kepentingan perutnya sendiri. Tak peduli meski usahanya menyengsarakan
orang lain. Prinsipnya, yang penting hidup saya enak. Yang penting duit saya
banyak. Yang penting saya yang selamat—peduli setan dengan orang-orang. Orang
semacam ini akan sulit meraih kedamaian dalam hidup. Alih-alih ia akan lebih rentan
terkena depresi, kegelisahan, kecemasan, dan ketakutan terhadap masa depannya
sendiri.
Banyak orang
yang terpaku pada tujuan dan ambisi pribadinya kemudian mengabaikan spiritualitasnya.
Yang terjadi kemudian, orang-orang ini mengalami kegelisahan dan keresahan karena
hidupnya tak kunjung bahagia meski segala keinginannya sudah terpenuhi.
“Semua hal dalam hidup ini sudah kumiliki. Harta, uang, rumah, mobil, anak, jabatan, pangkat, hidup yang berkelimpahan, semua sudah kuperoleh, lalu apa selanjutnya?”
Pertanyaan
ini boleh jadi menggelisahkan mereka yang sering mengabaikan kondisi spiritualitasnya.
Tujuan-tujuan pribadinya memang tercapai. Tapi tujuan hakiki dalam hidupnya justru
belum terentuh dan menjadi kepingan puzzle
yang hilang dalam dinamika kehidupannya. Karena itu, tidak heran jika
orang-orang terkaya di planet ini—seperti Bill Gates—mendermakan sebagian
kekayaannya untuk kegiatan amal. Mereka membutuhkan sesuatu untuk menggenapi puzzle kehidupannya dan menjawab
pertanyaan “lalu apa selanjutnya?”
0 comments:
Post a Comment