Ini cerita lama. Tentang seorang pangeran
dari negeri seberang nun jauh di Timur. Alkisah di Kerajaan Timur hiduplah
seorang Pangeran yang sangat tampan. Badannya gagah perkasa dan tutur katanya
santun, membuatnya menjadi idola gadis-gadis di Kerajaan Timur.
Sayangnya, hati Sang Pangeran terlampau sulit
menjatuhkan pilihan. Sebagai satu-satunya pewaris tahta dan putra kebanggaan
ayahandanya, Sang Pangeran ingin mencari sesosok wanita yang sempurna sebagai
istri. Ayahandanya yang tak lain adalah raja Kerajaan Timur dibuatnya resah.
Maka dimintalah Sang Pangeran untuk berkelana mencari calon pendamping
hidupnya.
Suatu hari Sang Pangeran tiba di sebuah
perkampungan di pinggir sungai. Ia bertemu dengan seorang gadis pembuat mi di
sana. Wajahnya cantik dan baik hatinya. Sang Pangeran langsung jatuh hati pada
pandangan pertama. Ia pun memutuskan untuk berkenalan lebih jauh dengan gadis
pembuat mi itu. Selang beberapa hari kemudian, Sang Pangeran mengetahui bahwa keluarga
gadis pembuat mi itu sangat miskin. Mengetahui status sosialnya yang jauh
berbeda, Sang Pangeran memutuskan untuk urung menikahi gadis pembuat mi.
Sang Pangeran melanjutkan perjalanannya
hingga tiba di sebuah kota. Di sana ia betemu dengan rombongan pembesar
Kerajaan Selatan yang tengah singgah. Sang Pangeran terkesima dengan kecantikan
putri pembesar Kerajaan Selatan. Oleh Sang Pangeran, diajaknya gadis itu
berkenalan, membincangkan banyak hal, hingga Sang Pangeran jatuh hati pada
putri pembesar itu. Sang Pangeran pun membulatkan tekad untuk menikahinya.
Namun sehari kemudian, tersiar kabar bahwa
putri pembesar yang ingin dinikahi Sang Pangeran terjatuh dari kereta kuda.
Kepalanya terbentur cukup parah hingga menyisakan luka gores di dahi yang tak
bisa dihilangkan dengan penawar apapun. Menyadari ada kecacatan pada calon
istrinya, Sang Pangeran mengurungkan niatnya menikah. Ia takut menanggung malu
bila istrinya kelak digunjingkan karena memiliki ‘cacat’ di dahinya.
Dengan perasaan yang tak menentu, Sang
Pangeran beringsut pergi lebih jauh hingga tersesat di dalam hutan. Di sana,
Sang Pangeran kehabisan bekal dan akhirnya terjatuh tak sadarkan diri. Ia
ditolong oleh seorang saudagar kaya yang kebetulan lewat. Sang Pangeran dirawat
di rumah saudagar kaya itu. Di kediaman saudagar kaya itu, Sang Pangeran jatuh
hati dengan putri saudagar kaya. Saudagar kaya itu senang melihat keakraban
Sang Pangeran dan putrinya. Ia pun berpikir untuk menjodohkan keduanya. Sang
Pangeran pun menyanggupinya.
Dibawanya putri saudagar kaya beserta
keluarganya menuju kerajaan. Ayahandanya sangat gembira melihat putranya telah
menemukan calon pendamping hidup. Persiapan pernikahan pun segera dilakukan.
Undangan-undangan disebar ke seluruh penjuru negeri. Hidangan-hidangan terlezat
dihidangkan menyambut kerabat yang berdatangan. Gelas-gelas anggur diisi penuh.
Dan setiap ruang istana didekorasi seindah dan semewah mungkin.
Namun tepat sehari sebelum pernikahan agung
digelar, Sang Pangeran membatalkan niatnya untuk menikahi putri saudagar kaya. Gadis
itu dirasa terlalu sering menasehatinya dan banyak menuntut. Sang Pangeran
ingin gadis lain yang lebih pengertian dan tahu diri. Ia pun bergegas pergi ke
luar Kerajaan Timur dengan harapan akan menemukan gadis lain yang lebih baik.
Malang bagi Sang Pangeran, kendaraan yang
ditumpanginya terperosok ke dalam jurang. Sang Pangeran terluka parah. Ketika
dirinya ditemukan penggawa kerajaan, wajahnya nyaris tak bisa dikenali. Kulit
wajahnya tersayat belukar—meninggalkan bekas luka yang tak bisa dihilangkan.
Kedua kaki Sang Pangeran pun lumpuh. Ketampanan yang dulu membuatnya dipuja
gadis-gadis Kerajaan Timur kini hilang tak berbekas. Nasib Sang Pangeran
berakhir tragis karena tak ada satu pun wanita yang ingin menikahinya hingga akhir
hayatnya.
EPILOG:
“Selama kau mencari ‘dia’ yang sempurna, maka selamanya tak akan kau
dapatkan meski kau tempuh sepanjang negeri. Lebih bijak kau cari ‘dia’ yang
senantiasa memperbaiki diri dan berlapang dada ketika kau ajak untuk bersama-sama
menjadi pribadi yang lebih baik. Karena itulah hakikat ‘kasih’ yang
sebenar-benarnya.”
0 comments:
Post a Comment