Subscribe:

Labels

Monday 15 June 2015

Menyoal Status Mahasiswa Bermasalah

Kebanggaan apa yang kau peroleh selama kau menjadi mahasiswa, Nak?
Saya tidak bangga, Tuan, saya justru—prihatin…
(Hatake Niwa)

Saya bingung dengan senior saya saat ospek empat tahun lalu. Mahasiswa-mahasiswa baru (maba)—termasuk saya—diminta meneriakkan pekik “Hidup Mahasiswa!” Konon pekik sakral itulah yang membuka jalan reformasi di negeri ini (terlepas dari peran politisi-politisi busuk dan isu kosnpirasi di dalamnya). Saya dan ratusan maba lainnya seakan didoktrin untuk membangga-banggakan status ‘mahasiswa.’ Mungkin para senior menganggap junior-juniornya adalah makhluk setoran pilihan yang berhasil memenangkan persaingan masuk ke almamater kebanggaannya—mengalahkan ratusan ribu pendaftar lainnya.

Kedengarannya hebat. Tapi seiring berjalannya waktu, saya terus menemui paradoks demi paradoks dalam kehidupan mahasiswa yang kehilangan jati dirinya.

Ah, Mahasiswa. Ketikkan saja kata “mahasiswa” di kotak pencarian Google, maka suggestions yang akan muncul justru kasus-kasus hitam tentang mahasiswa. Bunuh diri, tewas (di/mem)bunuh, pencurian, hilang, tenggelam, dan semacamnya. Saya curiga kata “mahasiswa” telah mengalami peyorasi (penurunan makna). Sama halnya dengan kata “video” yang dulunya bermakna: segala citra audio-visual dari mesin perekam, berubah menjadi citra audio-visual yang memuat konten porno dan adegan dewasa. Karena telah mengalami peyorasi, setiap kali mendengar kata “mahasiswa,” yang terbayang di benak kita tidak jauh dari aksi demonstrasi, kerusuhan massal, pengrusakan fasilitas publik dan seabrek berita kriminal yang menyeret nama mahasiswa.

Ah, mahasiswa. Saya sering tidak enak dengan penambahan kata ‘maha’ di depannya. Saya lebih afdhal menyebutnya ‘siswa’ saja. Saya rasa penambahan kata ‘maha’ adalah sebuah arogansi. Kata ‘maha’ identik dengan objek yang powerful, memiliki kecerdasan dan kekuatan di atas rata-rata—misalnya mahaguru dan maharaja. Dengan adanya “maha”+”siswa”, maka seorang mahasiswa dapat kita definisikan sebagai jenis pelajar powerful yang dapat melakukan banyak hal ajaib yang tidak bisa dilakukan pelajar biasa.

Analoginya, jika pelajar biasa terlibat tawuran dengan geng sekolah lain, ‘minimal’ mahasiswa tawuran dengan aparat kepolisian (greget!). Jika pelajar biasa harus curi-curi kesempatan untuk bikin ‘adegan 3gp’ di semak-semak, mahasiswa bisa terang-terangan berzina di kos-kosannya sendiri—‘direkam’ tetangga kos yang mendadak lupa dengan ajaran amr ma’ruf nahi munkar. Ya, segala sesuatu tentang perilaku mahasiswa harus selalu dan selalu lebih powerful dibanding perilaku pelajar biasa. Absurd!

Well, maafkan bila saya terkesan menjelek-jelekkan mahasiswa. Saya hanya mencoba bersikap kritis dengan sedikit guyon satire. Kalaupun saya menjelek-jelekkan mahasiswa, saya juga menjelek-jelekkan diri saya sendiri setahun yang lalu. Saya tidak lebih dari mahasiswa biasa dari ‘genus kupu-kupu’ yang rutinitas hariannya: kuliah-pulang-kuliah-pulang (karena kalau tidak pulang tidak dapat uang). Terlihat tidak ada yang bisa dibanggakan dari saya ketika menjadi mahasiswa. Uang saku masih bergantung upeti orangtua, kerja part-time tak mau, lulus pun mesti tertunda setengah semester.

Kondisi berbeda seratus delapan puluh derajat dengan mahasiswa aktivis yang selalu sibuk. Kalau tidak kuliah ya sibuk ngurus organisasi. Kalau tidak ngurus organisasi ya ke luar ikut demonstrasi. Mahasiswa-mahasiswa tipe aktivis selalu tampak menonjol dibanding mahasiswa umumnya. Mereka sadar betul peran yang harus diambil. Mereka mengambil kesempatan-kesempatan yang ada demi meningkatkan kualitas dirinya. Ya, kualitas pribadilah yang membuat mahasiswa aktivis berbeda dengan mahasiswa rata-rata.

Lalu di kubu manakah kita sekarang?

Kubu yang mengemban amanah sebagai “Agent of Change” yang kehadirannya selalu membawa perubahan positif bagi masyarakat. Atau malah kubu yang membawa perubahan positif pada tespack pacar yang menuntut pertanggungjawaban? So lame, dude.

Padahal kita (mahasiswa) seharusnya menyadari besarnya harapan dan espektasi masyarakat kepadanya. Dalam kegiatan KKN misalnya. Seringkali kedatangan mahasiswa ke desa-desa akan disambut dengan permohonan warga agar para mahasiswa membuat proposal begini begitu lalu membuat proyek ini itu. Sederhananya, mahasiswa diminta ikut serta membangun desa. Kenapa? Karena mereka percaya bahwa mahasiswa memiliki kapasitas lebih untuk membawa perubahan positif bagi lingkungannya.

Belum lagi jika kita menerawang jauh ribuan kilometer ke kampung halaman. Berjuta-juta doa para orangtua berpilin ke langit. Mengharapkan putra-putrinya beroleh takdir terbaik setelah menjadi mahasiswa kelak. Tidakkah kita—para mahasiswa—tergerak hatinya untuk menjadi penjawab doa-doa orangtua kita?

Jadi, ijinkan saya menulis uraian panjang ini sebagai refleksi kehidupan saya saat masih menjadi mahasiswa tempo dulu. Saya tidak ingin adik-adik mahasiswa menyia-nyiakan empat tahun studinya di bangku perkuliahan. Saya ingin agar mereka menyadari esensi “menjadi mahasiswa.” Karena menjadi mahasiswa bukan persoalan gaya-gayaan. Karena menjadi  mahasiswa bukan pula persoalan ikut-ikutan. Menjadi mahasiswa adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

Jangan sampai kuliah bertahun-tahun hanya menyisakan penyesalan. Merutuki nasib kenapa dulu saya memilih jurusan ini? Jangan sia-siakan kesempatan menjadi mahasiswa. Apapun jurusanmu, aktiflah dalam berbagai kegiatan organisasi. Galilah pengalaman sebanyak-banyaknya dari sana. Selalu bangun budaya kritis dalam perkuliahan. Akrabilah perpustakaan, jadilah kutu buku yang sebenarnya. Mulailah melakukan segala sesuatunya dengan benar berdasar pada nurani. Dengan begitu, masa-masa kuliah yang dijalani akan menjadi lebih bermakna dan bermanfaat—tidak akan menyesal di kemudian hari.

Saran-saran di atas tidak hanya ditujukan bagi peningkatan kualitas diri mahasiswa, tapi juga untuk membuka kesadaran menjadi mahasiswa agar lebih bertanggung jawab. Agar nantinya mahasiswa bisa mengenakan toga dan selempang di dada karena mereka memang pantas menerimanya. Agar nantinya mereka memang pantas diberi amanah sebagai agen perubahan. Juga agar nantinya mereka pantas menjadi penjawab doa-doa dan harapan orangtua mereka selama ini.

0 comments:

Post a Comment