“Kebanggaan
apa yang kau peroleh selama kau menjadi mahasiswa, Nak?
Saya tidak bangga, Tuan,
saya justru—prihatin…”
(Hatake Niwa)
Saya bingung
dengan senior saya saat ospek empat tahun lalu. Mahasiswa-mahasiswa baru (maba)—termasuk
saya—diminta meneriakkan pekik “Hidup Mahasiswa!” Konon pekik sakral itulah
yang membuka jalan reformasi di negeri ini (terlepas dari peran politisi-politisi
busuk dan isu kosnpirasi di dalamnya). Saya dan ratusan maba lainnya seakan
didoktrin untuk membangga-banggakan status ‘mahasiswa.’ Mungkin para senior
menganggap junior-juniornya adalah makhluk setoran pilihan yang berhasil
memenangkan persaingan masuk ke almamater kebanggaannya—mengalahkan ratusan
ribu pendaftar lainnya.
Kedengarannya
hebat. Tapi seiring berjalannya waktu, saya terus menemui paradoks demi
paradoks dalam kehidupan mahasiswa yang kehilangan jati dirinya.
Ah, Mahasiswa.
Ketikkan saja kata “mahasiswa” di kotak pencarian Google, maka suggestions yang
akan muncul justru kasus-kasus hitam tentang mahasiswa. Bunuh diri, tewas (di/mem)bunuh,
pencurian, hilang, tenggelam, dan semacamnya. Saya curiga kata “mahasiswa” telah
mengalami peyorasi (penurunan makna).
Sama halnya dengan kata “video” yang dulunya bermakna: segala citra
audio-visual dari mesin perekam, berubah menjadi citra audio-visual yang memuat
konten porno dan adegan dewasa. Karena telah mengalami peyorasi, setiap kali
mendengar kata “mahasiswa,” yang terbayang di benak kita tidak jauh dari aksi demonstrasi,
kerusuhan massal, pengrusakan fasilitas publik dan seabrek berita kriminal yang
menyeret nama mahasiswa.
Ah,
mahasiswa. Saya sering tidak enak dengan penambahan kata ‘maha’ di depannya.
Saya lebih afdhal menyebutnya ‘siswa’
saja. Saya rasa penambahan kata ‘maha’ adalah sebuah arogansi. Kata ‘maha’ identik
dengan objek yang powerful, memiliki
kecerdasan dan kekuatan di atas rata-rata—misalnya mahaguru dan maharaja. Dengan
adanya “maha”+”siswa”, maka seorang mahasiswa dapat kita definisikan sebagai jenis
pelajar powerful yang dapat melakukan
banyak hal ajaib yang tidak bisa dilakukan pelajar biasa.
Analoginya, jika
pelajar biasa terlibat tawuran dengan geng sekolah lain, ‘minimal’ mahasiswa
tawuran dengan aparat kepolisian (greget!). Jika pelajar biasa harus curi-curi
kesempatan untuk bikin ‘adegan 3gp’ di semak-semak, mahasiswa bisa terang-terangan
berzina di kos-kosannya sendiri—‘direkam’ tetangga kos yang mendadak lupa
dengan ajaran amr ma’ruf nahi munkar.
Ya, segala sesuatu tentang perilaku mahasiswa harus selalu dan selalu lebih powerful dibanding perilaku pelajar
biasa. Absurd!
Well, maafkan bila saya terkesan menjelek-jelekkan mahasiswa.
Saya hanya mencoba bersikap kritis dengan sedikit guyon satire. Kalaupun saya menjelek-jelekkan mahasiswa, saya juga menjelek-jelekkan
diri saya sendiri setahun yang lalu. Saya tidak lebih dari mahasiswa biasa dari
‘genus kupu-kupu’ yang rutinitas hariannya: kuliah-pulang-kuliah-pulang (karena
kalau tidak pulang tidak dapat uang). Terlihat tidak ada yang bisa dibanggakan
dari saya ketika menjadi mahasiswa. Uang saku masih bergantung upeti orangtua, kerja
part-time tak mau, lulus pun mesti tertunda
setengah semester.
Kondisi berbeda
seratus delapan puluh derajat dengan mahasiswa aktivis yang selalu sibuk. Kalau
tidak kuliah ya sibuk ngurus organisasi. Kalau tidak ngurus organisasi ya ke
luar ikut demonstrasi. Mahasiswa-mahasiswa tipe aktivis selalu tampak menonjol
dibanding mahasiswa umumnya. Mereka sadar betul peran yang harus diambil. Mereka
mengambil kesempatan-kesempatan yang ada demi meningkatkan kualitas dirinya.
Ya, kualitas pribadilah yang membuat mahasiswa aktivis berbeda dengan mahasiswa
rata-rata.
Lalu di kubu
manakah kita sekarang?
Kubu yang mengemban
amanah sebagai “Agent of Change” yang
kehadirannya selalu membawa perubahan positif bagi masyarakat. Atau malah kubu
yang membawa perubahan positif pada tespack
pacar yang menuntut pertanggungjawaban? So
lame, dude.
Padahal kita
(mahasiswa) seharusnya menyadari besarnya harapan dan espektasi masyarakat kepadanya.
Dalam kegiatan KKN misalnya. Seringkali kedatangan mahasiswa ke desa-desa akan disambut
dengan permohonan warga agar para mahasiswa membuat proposal begini begitu lalu
membuat proyek ini itu. Sederhananya, mahasiswa diminta ikut serta membangun
desa. Kenapa? Karena mereka percaya bahwa mahasiswa memiliki kapasitas lebih
untuk membawa perubahan positif bagi lingkungannya.
Belum lagi jika
kita menerawang jauh ribuan kilometer ke kampung halaman. Berjuta-juta doa para
orangtua berpilin ke langit. Mengharapkan putra-putrinya beroleh takdir terbaik
setelah menjadi mahasiswa kelak. Tidakkah kita—para mahasiswa—tergerak hatinya
untuk menjadi penjawab doa-doa orangtua kita?
Jadi, ijinkan
saya menulis uraian panjang ini sebagai refleksi kehidupan saya saat masih
menjadi mahasiswa tempo dulu. Saya tidak ingin adik-adik mahasiswa menyia-nyiakan
empat tahun studinya di bangku perkuliahan. Saya ingin agar mereka menyadari
esensi “menjadi mahasiswa.” Karena menjadi
mahasiswa bukan persoalan gaya-gayaan. Karena menjadi mahasiswa bukan pula persoalan ikut-ikutan.
Menjadi mahasiswa adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan.
Jangan sampai
kuliah bertahun-tahun hanya menyisakan penyesalan. Merutuki nasib kenapa dulu saya memilih jurusan ini? Jangan sia-siakan kesempatan menjadi mahasiswa. Apapun
jurusanmu, aktiflah dalam berbagai kegiatan organisasi. Galilah pengalaman
sebanyak-banyaknya dari sana. Selalu bangun budaya kritis dalam perkuliahan. Akrabilah
perpustakaan, jadilah kutu buku yang sebenarnya. Mulailah melakukan segala
sesuatunya dengan benar berdasar pada nurani. Dengan begitu, masa-masa kuliah
yang dijalani akan menjadi lebih bermakna dan bermanfaat—tidak akan menyesal di
kemudian hari.
0 comments:
Post a Comment