Subscribe:

Labels

Tuesday 23 February 2016

Jebakan Setan di Urinoir


Seringkali kerikil-kerikil kecil bisa lebih berbahaya
daripada sebongkah batu besar di tengah jalan
(anonim)

*Sebelumnya, demi kenyamanan semua orang, mohon tidak membaca postingan ini jika kalian sedang makan atau mempunyai gangguan pencernaan.
.   .   .

Pertama kali saya berkenalan dengan kloset jenis urinoir adalah ketika berkunjung ke sebuah bioskop XXI di kota saya. Saat itu, saya merasa kebelet dan harus ke toilet. Di dalam toilet, saya melihat urinoir yang berjejeran menempel di dinding. Berhubung saya bukan tipe orang yang suka mencoba benda asing tanpa memiliki informasi apapun tentangnya, saya hanya melihat urinoir-urinoir itu. Sementara untuk buang air, saya lebih memilih memakai kloset duduk yang ada di sebelah urinoir.

Sejauh ini saya mengenal beberapa jenis kloset. Untuk pemakaian sehari-hari, saya masih memakai kloset jongkok. Saya paling afdhal memakai kloset jenis ini karena proses “pembuangan” dan “pembersihan” (maaf, cebok) bisa dilakukan secara leluasa dengan jumlah air yang memadai. Tidak heran jika kloset jenis ini paling digemari warga sekitar rumah saya.

Saat SD dulu, sekolah saya memakai kloset “leher angsa.” Kloset jenis ini tidak jauh beda dengan kloset jongkok biasa. Hanya bedanya, lubang pembuangan kloset ini lebih dalam—mirip dengan leher angsa. Boleh jadi karena itulah, kloset ini dinamakan kloset “leher angsa.”

Selain dua jenis kloset di atas, ada juga jenis kloset “cemplung ” yang dulu biasa dipakai oleh warga perkampungan pinggir sungai. Kloset jenis ini terkenal paling jorok karena memakai sistem pembuangan langsung ke aliran sungai (percayalah, saya tidak pernah memakainya). Konon, kloset ini menghasilkan bunyi “plung…plung…plung ” yang khas ketika dipakai. Boleh jadi karena itulah kloset ini dinamakan kloset cemplung.

Beralih ke peradaban modern, saya mengenal kloset duduk. Kloset jenis ini efektif menghindarkan pemakainya dari sensasi kesemutan—seperti yang biasa dialami “penggemar fanatik” kloset jongkok. Hanya sayangnya, pemakaian kloset duduk sering merepotkan jika tidak dilengkapi air guyuran, atau ketika tombol flush-nya tidak berfungsi. Walaupun tersedia tisu untuk pembersihan, tidak semua orang (termasuk saya) yang afdhal memakainya. Selain itu, dudukan di toilet ini kerap luput dibersihkan meski sering terciprat air kencing. Karena alasan itulah, saya sering kikuk ketika harus memakai kloset duduk.

Dari berbagai jenis kloset yang saya kenal, urinoir adalah jenis kloset yang paling praktis dan mudah dipakai. Biasanya, urinoir dilengkapi dengan sensor suhu dan sistem guyuran otomatis. Si pemakai cukup buang air kecil di sana, “krucukk…krucuk…” sebentar—dan air guyuran akan keluar secara otomatis setelah urinoir ditinggal pergi—praktis sekali. Tapi, di sinilah letak masalahnya.

Urinoir (yang konon merupakan buah peradaban  modern) tidak menyediakan fasilitas cebok. Padahal, cebok merupakan salah satu elemen penting dalam “ritual” buang air (baik kecil, sedang, maupun besar sekali). Para ahli medis pun sepakat bahwa kita harus cebok setiap kali selesai buang air demi menjaga kebersihan dan kesehatan organ genital. Parahnya, air guyuran dari urinoir tidak mencukupi untuk keperluan cebok. Boleh jadi urinoir memang didesain untuk orang-orang yang sudah nggak  tahan lagi, terdesak kebelet, dan berpikir cebok itu tidak penting.

Masalah lainnya, urinoir mengharuskan kita mendekatkan celana ke bibir urinoir agar urin tidak tercecer ke lantai. Kita juga harus mendekatkan celana jika tidak ingin mengalami insiden "ter-intip” seperti yang biasa terjadi di toilet cowok. Nah, pada saat mendekatkan celana itulah, ada sekian tetes urin yang menciprat ke celana kita !!!

Bagi yang berpikir cebok itu tidak penting, masalah ini mungkin terlihat sepele. Tapi bagi kalian yang muslim—yang merasa punya kewajiban untuk menjaga kebersihan diri sebelum beribadah—hal sepele ini harus tetap diperhatikan. Kenapa?

Kita tahu, urinoir tidak hanya meniadakan fitur cebok, tapi juga meninggalkan cipratan urin yang bisa mengurangi kesempurnaan thaharah (kegiatan mensucikan diri) sebelum ibadah. Karena itu, untuk menghindari “jebakan setan” di urinoir, lebih baik gunakan kloset duduk atau kloset jongkok saja. Gunakan urinoir saat kepepet saja, misalnya saat sudah nggak tahan lagi atau saat antrian kloset konvensional terlalu lama.

“Kalau di tempat itu cuma ada urinoir gimana dong ?”

Nah, itu juga repot. Ada seorang blogger  yang pernah memberi tips mengatasi masalah ini, yaitu dengan memanfaatkan botol air mineral. Caranya, sebelum “setor” pipis  ke urinoir, terlebih dahulu isi botol itu dengan air dari wastafel. Gunakan air di dalam botol untuk keperluan cebok di depan urinoir. Jadi, jangan berpikir botol ini akan dipakai untuk nampung urin seperti pispot, lho  ya.

Sayangnya, trik ini hanya bisa digunakan ketika suasana toilet sepi. Kalian tentu tidak mau ambil resiko dicap “udik ” jika ketahuan cebok di depan urinoir—lebih-lebih pakai botol air mineral!

*   *   *

Kesimpulannya, daripada kita repot tidak bisa cebok, lebih baik hindari penggunaan urinoir, kecuali terpaksa saja. Selalu prioritaskan kloset konvensional, baik yang jongkok maupun yang duduk, karena pemakaiannya jauh lebih afdhal—meski untuk itu kita harus sabar mengantri atau merogoh kocek.

Jika kita baru pertama kali memasuki sebuah gedung, hal pertama yang harus kita lakukan adalah menanyakan letak toilet. Ini penting untuk mengantisipasi kondisi darurat saat kita kebelet atau sudah nggak tahan lagi. Lagipula, kita perlu tahu jenis kloset yang dipakai di gedung itu agar kita bisa menyiapkan trik untuk mengatasi masalah yang mungkin timbul, seperti tidak adanya air guyuran, tisu habis, tombol flush rusak, dan “jebakan setan” di urinoir.

Boleh jadi masalah urinoir ini terlihat sepele. Tapi demi kesempurnaan thaharah, lebih baik kita mulai peduli pada masalah ini. Jika kalian lebih memilih kepraktisan, malu, dan menyerah pada alasan “tidak mau repot,” maka itu hak kalian. Tulisan ini sekedar mengingatkan saja. Karena bagaimanapun, yang namanya ibadah tidak hanya urusan niat dan khidmat-nya saja, tapi juga bagaimana mensucikan diri demi meraih kesempurnaan ibadah itu sendiri.

4 comments:

Izhar Hadi Prazedya said...

ngohahahaha... ane juga pernah make tuh kloset urinoir di salah satu mall di makassar, kebetulan kan lagi jalan-jalan trus kebelet, yaudah deh masuk ke toilet kebetulan klosetnya urinoir semua, dan ada 1 orang juga yang lagi kencing disitu, yaudah ane pake kloset yang paling ujung, pas selesai kencing kan klosetnya ada tombol flushnya tuh diatasnya yaudah ane pencet keluar airnya, sesudah itu ane bingung "INI CEBOKNYA GIMANA ???". yaudah daripada kagak cebok ane pencet-pencetin dah tuh tombol flusnya trus tangan kiri ane, ane tempelin ke tempat airnya keluar, kemudian ane pake cebok. nggak tau jugalah orang yang tadi ngeliatin ane apa kagak, yang penting ane bisa cebok..

Hatake Niwa said...

@izhar:
kalau kepepet memang bisa begitu. nice tips. pastikan aja tidak ada yang mengintip, bisa malu berganda nanti

Mochammad Azka Taufiq Reyzany said...

Nggak pernah make closet yang macem2. Masih nyamanan kencing di toilet biasa dan dibelakang pohon aja kalo saya mah. Buahahaha

Pernah suatu ketika kebelet pub disebuah gedung yang nggak nyediain air untuk cebok. hanya tisu aja.
Ngliat itu aja, udah nggak pengen pub kok..
Muahahaha

Hatake Niwa said...

owalah..tak kira masih pake batu buat ganjel lubang pusar biar rasa yang tak tertahankan itu hilang.
mungkin di daerah situ mahal air Bang Azka. harap maklum cuma bisa kasih tisu (yang lebih murah daripada air mineral)

Post a Comment