Subscribe:

Labels

Sunday 14 February 2016

Tak Bisakah Kita Berhenti Merayakan Valentine


Kita tidak bisa menyimpulkan suatu perbuatan itu baik
hanya karena banyak orang melakukannya.
(Hatake Niwa)

Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap tanggal 14 Februari banyak orang ramai membicarakan Valentine. Dan setiap tahun, media sosial dibanjiri artikel yang melarang kita mengikuti ritus Hari Kasih Sayang. Berbagai alasan dikemukakan, mulai dari sejarah kelam Hari Valentine sampai menyitir dalil-dalil agama tertentu (yang boleh jadi tidak bisa dipahami oleh mereka yang merayakan Valentine).

Yang membuat saya jengah, artikel-artikel semacam itu hampir selalu memicu perdebatan di kotak komentar. Perdebatan itu terasa konyol karena selalu mencuat setiap tahunnya, pada tanggal yang sama, pada kasus yang sama, seakan-akan kita tidak pernah mengambil pelajaran dari perdebatan sebelumnya. Perdebatan itu pun menjadi perdebatan antara HABIT dan FAITH yang pelik sekali—tidak jauh beda dengan perdebatan perayaan malam Tahun Baru. Dan saya yakin, perdebatan tentang Hari Valentine juga tidak akan selesai.

Manusia dewasa dengan pemikiran yang semakin kompleks selalu menimbang untung-rugi dalam melakukan suatu perbuatan. Jika ia merasa perbuatannya tidak merugikan, maka ia akan terus melakukannya. Sebaliknya, jika ia merasa perbuatan itu merugikan, ia pun akan berpikir dua kali sebelum melakukannya.

Kita semua tahu, Hari Valentine adalah tren global yang telah membudaya. Perayaan Valentine sudah menjadi sebuah kebiasaan (habit) yang dinilai tidak merugikan siapapun. Alih-alih Hari Valentine terlihat seperti sebuah perayaan yang menarik. Pada Hari Valentine, orang-orang lebih senang membicarakan hal-hal romantis seperti pernyataan cinta, bertukar cokelat, hadiah bunga, dan ajakan kencan. Kenapa? Karena semua itu tampak menyenangkan dan tidak ada seorang pun yang melihat kerugian di dalamnya. Itu sebabnya, mengubah mindset orang-orang untuk tidak merayakan Valentine sangatlah sulit. Jika kita nekat melarang, orang-orang akan nyinyir bilang, “Emang kenapa sih ngelarang-larang gue ngerayain valentine? Ini kan cuma tukeran cokelat, ngasih bunga, ngasih kado. Apa ruginya buat elu?

Well, bagi yang menganggap Valentine biasa-biasa saja, mungkin mereka akan merayakan Valentine dengan pacar atau pasangan mereka. Mereka bisa saling bertukar cokelat, mengajak kencan, memberi bunga, atau melakukan apa-apa yang menurut mereka biasa-biasa saja dan tidak melanggar batas norma.

Masalahnya, ada sebagian orang yang merayakan Valentine secara ‘kebablasan.’ Hari Kasih Sayang malah diartikan sebagai ‘Hari Bebas’ di mana mereka merasa bebas melakukan apa saja dengan pasangannya pada hari itu. Bahkan berbuat mesum sekalipun.

Berbagai portal berita online mengabarkan bahwa pada menjelang Valentine, penjualan alat kontrasepsi (jenis kondom) meningkat drastis. Di Medan, seorang apoteker mengaku penjualan kondom di apoteknya meningkat dari 20 bungkus per hari menjadi 350 bungkus per hari. Hal serupa juga dialami seorang pedagang kaki lima di daerah Bandar Lampung. Menjelang Valentine, lima sampai tujuh kotak kondomnya bisa habis terjual. Yang mencengangkan, usia pembelinya tergolong masih remaja, berkisar antara 17-23 tahun. (Berita serupa juga bisa kalian temukan di sini dan di sini).

Dari sini, saya mulai khawatir. Memangnya remaja-remaja itu membeli kondom untuk apa? Main pelembungan? Untuk menemani anak PAUD bermain?

Implikasi psikologis itulah yang sering luput dari perhatian kita. Dewasa ini, ada banyak anak muda yang berkecimpung dalam perilaku pacaran. Padahal kita semua tahu, dorongan seks pada usia remaja sangat tinggi. Membiarkan mereka merayakan Valentine sama saja membiarkan mereka dalam perilaku beresiko. Kita tidak pernah tahu bagaimana mereka akan merayakan Hari Valentine. Siapa yang bisa menjamin mereka akan merayakan Valentine dengan biasa-biasa saja? Siapa pula yang bisa memastikan mereka tidak akan ‘khilaf’ ketika sedang bermesraan di tempat yang sepi?

Itu kan mereka, Valentine gue biasa aja tuh. Bodo amat kalo mereka kebablasan, itu salah mereka sendiri!

Oh, well, itu hak kalian menilai. Saya menulis ini untuk mereka yang mau memikirkan masalah ini. Jika kalian masih memiliki sisa kepedulian pada adik-adik kalian, pada teman, pada para remaja yang belum matang dalam urusan cinta, tolong jangan “kompori” mereka untuk merayakan Valentine, menggoda mereka untuk mencari pacar, berkencan di kafe, ikut-ikutan berbagi cokelat, atau semacamnya!!!


Mengapa? Karena—sekali lagi—siapa yang bisa menjamin mereka akan merayakan Valentine dengan biasa-biasa saja? Siapa pula yang bisa memastikan mereka tidak akan ‘khilaf’ ketika sedang bermesraan di tempat yang sepi? Pikirkanlah! Pikirkanlah jika kepedulian itu memang masih ada dalam benak kalian…

0 comments:

Post a Comment