“Kita tidak bisa menyimpulkan suatu perbuatan
itu baik
hanya karena banyak orang melakukannya.”
(Hatake Niwa)
Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap tanggal 14
Februari banyak orang ramai membicarakan Valentine. Dan setiap tahun, media
sosial dibanjiri artikel yang melarang kita mengikuti ritus Hari Kasih Sayang. Berbagai alasan
dikemukakan, mulai dari sejarah kelam Hari Valentine sampai menyitir dalil-dalil
agama tertentu (yang boleh jadi tidak bisa dipahami oleh mereka yang merayakan
Valentine).
Yang membuat saya jengah, artikel-artikel semacam itu
hampir selalu memicu perdebatan di kotak komentar. Perdebatan itu terasa konyol
karena selalu mencuat setiap tahunnya, pada tanggal yang sama, pada kasus yang
sama, seakan-akan kita tidak pernah mengambil pelajaran dari perdebatan
sebelumnya. Perdebatan itu pun menjadi perdebatan antara HABIT dan FAITH yang
pelik sekali—tidak jauh beda dengan perdebatan perayaan malam Tahun Baru. Dan saya
yakin, perdebatan tentang Hari Valentine juga tidak akan selesai.
Manusia dewasa dengan pemikiran yang semakin kompleks selalu
menimbang untung-rugi dalam melakukan suatu perbuatan. Jika ia merasa
perbuatannya tidak merugikan, maka ia akan terus melakukannya. Sebaliknya, jika
ia merasa perbuatan itu merugikan, ia pun akan berpikir dua kali sebelum
melakukannya.
Kita semua tahu, Hari Valentine adalah tren global
yang telah membudaya. Perayaan Valentine sudah menjadi sebuah kebiasaan (habit) yang dinilai tidak merugikan siapapun.
Alih-alih Hari Valentine terlihat seperti sebuah perayaan yang menarik. Pada
Hari Valentine, orang-orang lebih senang membicarakan hal-hal romantis seperti pernyataan
cinta, bertukar cokelat, hadiah bunga, dan ajakan kencan. Kenapa? Karena semua
itu tampak menyenangkan dan tidak ada seorang pun yang melihat kerugian di
dalamnya. Itu sebabnya, mengubah mindset
orang-orang untuk tidak merayakan Valentine sangatlah sulit. Jika kita nekat
melarang, orang-orang akan nyinyir bilang, “Emang
kenapa sih ngelarang-larang gue ngerayain valentine? Ini kan cuma tukeran cokelat,
ngasih bunga, ngasih kado. Apa ruginya buat elu?”
Well, bagi
yang menganggap Valentine biasa-biasa saja, mungkin mereka akan merayakan
Valentine dengan pacar atau pasangan mereka. Mereka bisa saling bertukar cokelat,
mengajak kencan, memberi bunga, atau melakukan apa-apa yang menurut mereka biasa-biasa
saja dan tidak melanggar batas norma.
Masalahnya, ada sebagian orang yang merayakan
Valentine secara ‘kebablasan.’ Hari Kasih Sayang malah diartikan sebagai ‘Hari Bebas’
di mana mereka merasa bebas melakukan apa saja dengan pasangannya pada hari itu.
Bahkan berbuat mesum sekalipun.
Berbagai portal berita online mengabarkan bahwa pada menjelang
Valentine, penjualan alat kontrasepsi (jenis kondom) meningkat drastis. Di Medan,
seorang apoteker mengaku penjualan kondom di apoteknya meningkat dari 20 bungkus
per hari menjadi 350 bungkus per hari. Hal serupa juga dialami seorang pedagang
kaki lima di daerah Bandar Lampung. Menjelang Valentine, lima sampai tujuh
kotak kondomnya bisa habis terjual. Yang mencengangkan, usia pembelinya tergolong
masih remaja, berkisar antara 17-23 tahun. (Berita serupa juga bisa kalian temukan
di sini dan di sini).
Dari sini, saya mulai khawatir. Memangnya remaja-remaja
itu membeli kondom untuk apa? Main pelembungan? Untuk menemani anak PAUD
bermain?
Implikasi psikologis itulah yang sering luput dari
perhatian kita. Dewasa ini, ada banyak anak muda yang berkecimpung dalam
perilaku pacaran. Padahal kita semua tahu, dorongan seks pada usia remaja
sangat tinggi. Membiarkan mereka merayakan Valentine sama saja membiarkan mereka
dalam perilaku beresiko. Kita tidak pernah tahu bagaimana mereka akan merayakan
Hari Valentine. Siapa yang bisa menjamin mereka akan merayakan Valentine dengan
biasa-biasa saja? Siapa pula yang bisa memastikan mereka tidak akan ‘khilaf’
ketika sedang bermesraan di tempat yang sepi?
“Itu kan mereka,
Valentine gue biasa aja tuh. Bodo amat kalo mereka kebablasan, itu salah mereka
sendiri! ”
Oh, well, itu
hak kalian menilai. Saya menulis ini untuk mereka yang mau memikirkan masalah
ini. Jika kalian masih memiliki sisa kepedulian pada adik-adik kalian, pada
teman, pada para remaja yang belum matang dalam urusan cinta, tolong jangan “kompori” mereka untuk merayakan
Valentine, menggoda mereka untuk mencari
pacar, berkencan di kafe, ikut-ikutan berbagi cokelat, atau semacamnya!!!
Mengapa? Karena—sekali lagi—siapa yang bisa menjamin
mereka akan merayakan Valentine dengan biasa-biasa saja? Siapa pula yang bisa memastikan
mereka tidak akan ‘khilaf’ ketika sedang bermesraan di tempat yang sepi? Pikirkanlah!
Pikirkanlah jika kepedulian itu memang masih ada dalam benak kalian…
0 comments:
Post a Comment