“Bagaimana mungkin aku
berpikir untuk hidup menyendiri.
Karena hakikat manusia,
kita selalu membutuhkan satu sama lain.”
(Hatake Niwa)
Saat SMP saya pernah memiliki seorang teman,
sebut saja Jimmy (bukan nama sebenarnya). Saya sempat beberapa kali menjadi
teman sebangku Jimmy. Biasanya, tidak ada yang mau duduk sebangku dengan Jimmy
(termasuk saya). Hanya murid yang datang paling akhirlah yang akan duduk
sebangku dengannya.
Sulit untuk mengatakan saya menikmati duduk di sebelah Jimmy. Dia tidak seperti anak-anak lain seusianya.
Jimmy sangat polos, pemalu, dan cenderung kekanak-kanakan. Topik obrolan yang
disukainya payah dan tidak sesuai dengan selera teman-temannya. Mimik wajahnya
sayu, seakan-akan mengajak orang-orang untuk menindasnya beramai-ramai. Di
awal-awal perkenalan, saya juga sempat menganggap Jimmy anak yang aneh.
Karena kepribadiannya yang ‘berbeda,’ Jimmy
menjadi murid yang sering mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari
teman-temannya. Saya sering melihat teman-teman Jimmy berbuat usil padanya. Ada
yang mengejek, membuat lelucon sarkas tentang Jimmy, sampai beramai-ramai
melempari Jimmy dengan kapur. Beberapa kali anak malang itu kedapatan menangis
karena tidak tahan dengan perlakuan teman-temannya (saat itu saya belum tahu
kalau perbuatan teman-teman saya termasuk bullying).
Jimmy juga sering tersisih dari pergaulan. Jimmy
jarang diajak teman-temannya ke kantin. Dalam class meeting, dia
tidak diikutkan turnamen apapun karena payah dalam olahraga. Begitu juga saat
teman-temannya sibuk membuat band untuk ujian praktik seni musik. Tidak ada
yang mau melibatkan Jimmy. Pada akhirnya, setelah tiga tahun Jimmy tetap
kesulitan mendapat penerimaan dari lingkungan pergaulannya.
Padahal, Jimmy tidak seburuk perkiraan
teman-temannya. Suatu hari, Jimmy mengajak saya untuk mampir ke rumahnya. Saat
itu, saya baru tahu kalau Jimmy cukup ahli mengutak-atik komputer. Kamarnya
penuh dengan perangkat komputer dan CD master program. Beberapa kali saya
diajak bermain game di rumahnya. Karena jasa Jimmy pula
pengetahuan saya tentang komputer meningkat. Sayangnya, semua kelebihan itu
tidak pernah membuat Jimmy ‘dianggap’ oleh teman-temannya. Jimmy tetap menjadi "Bocah yang Tersisih."
*
* *
Kasus Jimmy hanya contoh kecil bagaimana
seseorang tersisih dari pergaulan. Manusia cenderung pilih-pilh dalam berteman.
Kebanyakan dari kita hanya akan berteman dengan orang-orang yang sekiranya
memiliki minat yang sama. Kita pun menciptakan “pengkotak-kotakan” dan
stratifikasi dalam pergaulan. Mereka yang tidak memiliki kesamaan minat
atau dicap ‘berbeda’ akan ditempatkan di luar 'kotak' (tersisih).
Saat saya SMA, “pengkotak-kotakan“ semacam itu
jelas terlihat (terutama di kalangan cewek). Ada kelompok cewek gaul. Ada
kelompok cewek alim. Ada pula kelompok cewek rajin. Dalam pergaulannya, saya melihat ada jarak (GAP) antara cewek dari "kelompok rajin" dan cewek dari "kelompok gaul." Begitu pula cewek dari "kelompok alim" dengan "kelompok gaul." Sementara mereka yang tidak bisa menjadi bagian dalam kelompok-kelompok
itu cenderung tersisih.
Kelompok murid cowok pun begitu. Ada saja
cowok-cowok ‘cupu’ yang tersisih dari pergaulan. Banyak alasan yang
melatari bagaimana mereka bisa tersisih. Sebagian karena ketidaksamaan minat dengan kebanyakan teman-temannya, terlalu pintar,
sangat polos, atau payah dalam hal olahraga.
Saya rasa, kecenderungan semacam itu terjadi di sekolah manapun. Bahkan sampai saya kuliah pun, “pengkotak-kotakan” dan
“alienasi” itu tidak pernah hilang. Ada kelompok mahasiswa “borju”
yang doyan shopping dan nyalon. Ada kelompok mahasiswa blangsak
yang doyan mbolos dan nitip absen. Ada pula kelompok mahasiswa rajin-religius yang
sering mangkal di masjid atau perpustakaan. Di luar itu semua, ada kelompok mahasiswa yang tidak jelas
identitasnya, mereka yang introvert dan memiliki minat yang
berbeda dengan teman-temannya. Golongan yang terahir ini lebih sering tersisih dalam pergaulan.
Di lingkungan masyarakat juga sama. Stratifikasi
dan “pengkotak-kotakan” pergaulan juga terjadi. Kehidupan modern mendorong
manusia semakin individualis. Orang-orang saling menatap sesamanya dengan penuh
curiga. Rumah-rumah dibuat
berpagar tinggi-tinggi. Persaingan gengsi mendorong perilaku konsumtif. Pun
dengan menjamurnya sikap acuh pada kemalangan orang lain.
Saya sering membayangkan sekat-sekat
antarkelompok itu tidak pernah ada. Saya membayangkan peradaban manusia yang
tidak dibatasi sekat antarnegara, identitas suku, agama, profesi atau klan
tertentu. Dengan begitu, kita bisa bebas untuk saling berbagi dan peduli satu
sama lain.
Ketika kehidupan manusia tidak dibatasi
sekat-sekat artifisial itu, tidak akan ada lagi kelompok yang tersisih dari
pergaulan (termarjinalkan). Semua orang bebas untuk saling berbagi dan
menolong sesamanya tanpa dibatasi suku, agama, ras, atau pangkat.
Para pejabat tidak akan sungkan berkotor-kotor
menjamah pemukiman rakyatnya. Orang-orang kaya tidak risih memberi derma dan
merangkul tetangganya yang lusuh papa. Satpol PP akan bermusyawarah dengan warga
daripada melakukan penggusuran. Para kyai, polisi, pemuka agama, semuanya
berkenan membawa ‘pelita’ di area lokalisasi. Tidak ada lagi prinsip
“mengenyangkan perut sendiri.” Semuanya saling peduli untuk
membantu mengentaskan sesamanya dari masalah.
Mengharapkan semua manusia
berlaku seperti itu memang terdengar utopis. Tapi setidaknya, kita bisa memulainya dari lingkungan
kecil kita terlebih dahulu. Kita bisa mendorong diri kita untuk lebih peduli
pada teman-teman kita yang tersisih dari pergaulan. Ajak mereka untuk bergabung
dan terlibat dalam kegiatan bersama. Berilah perhatian dan penerimaan yang tulus agar mereka merasa keberadaannya
berharga. Karena yakinlah, tidak ada seorang pun di dunia ini yang merasa nyaman menjadi kelompok yang
tersisih dari lingkungannya.
*
* *
Sekitar dua bulan lalu, dalam sebuah reuni, saya
bertemu dengan Jimmy. Itu adalah pertemuan pertama saya dengannya sejak SMP.
Saya menyimak bagaimana Jimmy berinteraksi dengan teman-temannya saat itu. Saya
baru menyadari jika Jimmy memiliki kecenderungan seorang introvert.
Mungkin itu sebabnya, saat SMP Jimmy kesulitan untuk bisa diterima di
lingkungan pergaulannya. Andai saat itu saya sudah tahu tentang hal ini, tentu
saya akan mencoba menemani Jimmy agar tidak terus-terusan tersisih dari
pergaulan.
Toh saya tetap bersyukur Jimmy telah menemukan
dirinya yang baru. Sejak SMA, Jimmy mendapat perlakuan yang lebih baik dari
lingkungannya. Dia tidak mendapat bullying separah
teman-temannya di SMP. Jimmy beruntung bisa berkenalan dengan “orang-orang baik” yang
menaruh kepedulian padanya. “Orang-orang baik” ini tidak suka membiarkan
temannya kesepian dan tersisih. Mereka juga tidak sungkan berteman dengan siapa
saja dan membenci “pengkotak-kotakan” dalam pergaulan. Mereka selalu ada untuk
temannya baik pada saat senang maupun susah. Orang-orang inilah yang lebih
pantas kita sebut sebagai “sahabat.”
0 comments:
Post a Comment