Subscribe:

Labels

Saturday 20 February 2016

Pelajaran dari Kecelakaan


.   .   .

Seperti yang saya tulis di artikel 5 Penyebab Utama Kecelakaan Lalu Lintas, salah satu penyebab utama kecelakaan adalah "perasaan buru-buru". Kecelakaan pertama yang pernah saya alami juga berawal dari rasa buru-buru saat berkendara. 

Saat itu, saya masih SMA. Saya baru saja selesai menjalani perbaikan ulangan semester. Karena hanya menjalani perbaikan, kegiatan sekolah pada hari itu tidak banyak. Beberapa murid tampak sudah meninggalkan sekolah.

Seorang teman sekelas—sebut saja Andi, mengajak saya bermain game. Saya pun menyanggupi ajakannya. Tidak lama berselang, saya membonceng Andi menuju tempat bermain game yang letaknya tidak jauh dari sekolah.

Sekitar dua jam bermain game, saya ingin mengambil motor yang masih saya taruh di parkiran sekolah. Kebetulan saat itu ada seorang teman yang juga ingin kembal ke sekolah. Saya pun membonceng teman saya itu dan beranjak pergi ke sekolah, sementara Andi menunggu saya di tempat bermain game.

Untunglah gerbang sekolah belum tutup. Beberapa motor masih tampak berjejer di parkiran. Saya bergegas mengeluarkan motor karena saya tidak ingin membuat Andi menunggu lama.

Keluar dari gerbang sekolah, dengan terburu-buru saya memacu motor menuju tempat main game. Sekitar 50 meter dari gerbang sekolah, seorang bocah bersepeda tiba-tiba keluar dari mulut gang. Bocah itu berhenti tepat di jalur motor saya. Dan tabrakan pun tak terhindarkan lagi.

BRAKKK!!!

Stang motor saya dengan telak menghantam kepala bocah itu. Saya kehilangan kendali. Motor saya oleng, membuat saya terpental dan terseret sekitar 5 meter setelah menghujam permukaan aspal.

Saya lihat bocah itu terkapar—diam tak bergerak. Darah mengucur deras dari kepala si bocah. Di seberang jalan, sepeda mini bocah itu tampak ringsek parah. Begitu juga dengan kap depan motor saya yang remuk setelah menghantam aspal. Hampir-hampir saya tidak mempercayai kejadian itu. Semuanya terjadi begitu cepat.

Orang-orang berdatangan menolong kami. Motor saya dan sepeda mini si bocah ditepikan Kami pun segera dibawa ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, kami langsung dilarikan ke UGD. Bocah itu berada di bilik yang terpisah dari saya, sehingga saya tidak bisa melihat keadaannya. Saya cukup beruntung hanya mengalami luka lecet dan nyeri di persendian. Penanganan luka saya tidak lama. Saya lebih mencemaskan keadaan bocah itu.

Pendarahan di kepalanya terlihat cukup parah. Saat bocah itu akan dibawa ke rumah sakit, saya sempat melihat darah yang terus mengucur dari kepalanya. Saya ragu bocah itu akan selamat. Jika hal itu yang terjadi, sayalah yang harus bertanggungjawab karena telah menghabisi nyawanya—sekalipun saya tidak sengaja.

Saya mulai bergidik ngeri membayangkan skenario terburuk itu. Saya tidak percaya hidup saya akan berakhir sebagai seorang pembunuh. Saya masih SMA, tapi mungkinkah polisi akan mau melunak dan memaafkan kesalahan saya? Pikiran saya malah semakin kusut memikirkan hal itu.

Sejak memasuki ruang UGD, saya mendengar banyak sekali suara tangis anak kecil. Dalam hati, saya berharap itu adalah suara tangis bocah nahas yang saya tabrak. Setidaknya, itu akan mengurangi kegelisahan saya dan menyalakan harapan bahwa bocah itu masih mungkin selamat.

“Adiknya tadi bagaimana, Mbak?” tanya saya pada seorang perawat yang sedang memeriksa keadaan luka saya.

“Oh, dia baik-baik saja kok,” jawab perawat itu.

(Alhamdulillaah...)"  Kecemasan saya jauh lebih berkurang setelah mendengar jawaban perawat itu.

Setengah jam kemudian, orangtua saya datang. Keduanya tampak sangat khawatir. Selama beberapa menit, saya berbincang dengan orangtua saya. Tak banyak yang bisa saya ceritakan pada mereka. Saya masih agak syok dengan kecelakaan itu. Setelah mengetahui kondisi saya baik-baik saja, orangtua saya beranjak pergi menemui keluarga si bocah nahas.

*   *   *

Buru-buru, ngebut—keduanya seperti semacam ‘paket kecelakaan siap saji.’ Banyak sekali kecelakaan fatal yang terjadi karena pengendara yang buru-buru dan alpa memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi.

Setelah kecelakaan itu, saya sempat trauma naik motor. Bayangan bocah nahas yang terkapar berdarah-darah masih membekas di benak saya. Selama beberapa hari, saya memutuskan untuk jalan kaki ke sekolah.

Meski terlihat menyeramkan, saya mendapat banyak pelajaran dari kecelakaan itu. Saya sadar, buru-buru dalam berkendara adalah tindakan konyol. Kita tidak akan bisa berkendara dengan tenang saat dikejar perasaan buru-buru. Ketika itu terjadi, pikiran kita tidak fokus pada kendaraan yang sedang kita kendarai. Dan itu bisa jadi sangat berbahaya, tidak hanya mengancam keselamatan kita, tapi juga mengancam keselamatan orang lain.

Jadi, buang jauh-jauh perasaan buru-buru saat berkendara. Jangan sampai hanya karena alasan buru-buru, kita mempertaruhkan keselamatan banyak orang di jalanan. Berhati-hatilah dalam berkendara, karena kecepatan bukan jaminan untuk cepat sampai tujuan. “Keluarga Anda menunggu di rumah.”

4 comments:

Niki s said...

Makanya sob jgn buru2 gitu tuh jadinya
Tapi kagok juga sih kalo tiba2 ngendarin motor wlaupun pelan terus ada anak kecil bawa sepeda kenceng2
Sukurlah si anak kecilnya bisa selmat engga sampe keilangan nyawa

Hatake Niwa said...

@niki:
iya bang niki. jangan buru-buru pokoknya.
kalau ada rekaman CCTV sih, mungkin bakal ketahuan gimana bocah itu mendadak keluar gang kemudian memakan jalur motor saya.
masalahnya anak SMA di situ terkenal suka ngebut. warga jadi cenderung menyalahkan anak SMA-nya.

efo.teo said...

Kecelakan pertamaku malah pas belajar naik motor -_- jadi waktu belokan gitu aku sok-sokan mau kayak pembalap gitu ._. akhirnya, jatuuuuh. Didepan rumah pula -_-

Hatake Niwa said...

@febri:
sepertinya sudut elevasi kamu waktu nikung terlalu kecil. belajar nikung dulu gih sama yang ahli di sebelah. kejadiannya nggak sampai polisi kan itu?

Post a Comment