“Sebuah lelucon akan terasa lucu
Jika
ruang dan waktu penyampaiannya tepat ”
(Hatake
Niwa)
Suatu hari saya mampir di sebuah toko buku. Sudah menjadi
kebiasaan jika saya sedang banyak pikiran saya malah menyempatkan diri ke toko
buku. Jika sedang lapang, saya bisa pulang dengan membawa minimal satu buku.
Tapi jika tidak, saya hanya akan menghabiskan waktu untuk cuci mata,
melihat-lihat deretan buku, sambil sesekali mengecek buku bagus yang pembungkus
plastiknya sudah terbuka.
Ketika saya melihat-lihat deretan buku di rak, pandangan
saya tertumbuk pada sebuah buku yang covernya cukup menarik. Saya mengambil
buku itu. Kebetulan pembungkus plastiknya sudah tidak ada. Saya pun leluasa
membolak-balik halaman buku itu.
Dari beberapa halaman awal, saya menyimpulkan buku yang
saya pegang adalah buku komedi. Isinya tidak jauh dari pengalaman pribadi pengarangnya yang dikemas dalam bentuk cerita komedi. Beberapa cerita dalam buku
itu memang lucu sehingga sesekali membuat saya tersenyum geli. Masalahnya, saya mulai
mengkhawatirkan jenis lelucon yang dipakai si pengarang pada halaman-halaman berikutnya. Beberapa kali, si
pengarang menulis kemaluan laki-laki secara vulgar, tanpa sensor, dan terang-terangan. Boleh jadi si pengarang bermaksud menjadikan itu sebagai lelucon. Tapi bagi
saya, menyebut kemaluan untuk bahan lelucon (malah) tidak ada lucu-lucunya sama sekali.
Dalam adat ketimuran, kita tidak bisa sembarangan menyebut kemaluan. Biasanya kita akan menggunakan kata ganti seperti “anu” agar tidak menyebut kemaluan secara langsung. Anak kecil pun paham jika mereka tidak boleh terang-terangan menyebut kemaluannya di tempat umum. Lha ini, seorang pengarang buku (yang seharusnya lebih berpendidikan), malah terang-terangan menyebut kemaluan dan menjadikannya sebuah kelucuan (lelucon jorok).
Dalam adat ketimuran, kita tidak bisa sembarangan menyebut kemaluan. Biasanya kita akan menggunakan kata ganti seperti “anu” agar tidak menyebut kemaluan secara langsung. Anak kecil pun paham jika mereka tidak boleh terang-terangan menyebut kemaluannya di tempat umum. Lha ini, seorang pengarang buku (yang seharusnya lebih berpendidikan), malah terang-terangan menyebut kemaluan dan menjadikannya sebuah kelucuan (lelucon jorok).
Saya tidak tahu pasti, bagaimana lingkungan tempat
tinggal dan pergaulan si pengarang, Boleh jadi di tempat tinggal atau di
lingkaran pergaulannya, "lelucon jorok" adalah sesuatu yang
wajar. Masalahnya, ketika kita berbicara mengenai buku, blog, media sosial, atau media lain yang bersifat publik, ada
tanggung jawab moral dan etika kesopanan yang harus kita patuhi. Kita tidak
bisa sembrono menulis kemaluan dan
menganggap hal itu sebagai sesuatu yang layak ditertawakan.
Jika “lelucon jorok” semacam itu dianggap biasa, saya khawatir
ada anak-anak kecil yang kebetulan membaca atau mendengarnya. Dengan segala
kepolosannya, sangat mungkin anak kecil itu ikut-ikutan melontarkan “lelucon
jorok” pada teman, guru, bahkan orangtuanya tanpa menyadari betapa 'santun' tutur katanya.
Sebenarnya, menyebut kemaluan tidak akan menjadi masalah
jika ruang dan waktu penyampaiannya tepat. Seorang pengidap sifilis tidak perlu
merasa risih menyebut kemaluannya pada dokter yang memeriksanya. Remaja putri
yang baru pertama kali mengalami menstruasi, tidak perlu merasa sungkan untuk
menanyakan hal tersebut pada orangtuanya. Pun ketika seorang laki-laki sedang disunat—sah-sah
saja dia menyebut kemaluannya secara terang-terangan pada dokter yang akan
menyunatnya.
Pada contoh di atas, ketiga orang itu menyebut kemaluan dalam konteks netral, beralasan, dan tidak menjadikannya “lelucon jorok.” Hal ini berbeda dengan buku yang saya perkarakan
tadi. Pengarang buku itu malah sengaja
menulis kemaluan untuk menghibur pembacanya (entah orang macam apa yang akan tertawa setelah membaca lelucon jorok semacam itu).
Saya tidak tahu apakah urusan semacam ini pantas diposting
di sini atau tidak. Tapi saya merasa perlu menyentil hal ini pada orang-orang
yang kerap sembrono menyebut kemaluan
untuk bahan lelucon. Hal ini berlaku untuk semua jenis media publik, tidak hanya
buku, tapi juga blog, media sosial, dan di dalam percakapan sehari-hari.
*silahkan lanjut ke bagian 2
6 comments:
aku sependapat samamu menurutku kek gitu itu sama sekali gak lucu, itu jorok.
lha itu kok bisa sih ada buku model kek gitu. waah itu kalo anak kecil yang baca parah itu.
@adi:
iya, aku juga mikire gitu. mungkin memang ada sebagian orang yang menganggap itu lucu/biasa. tapi kan tidak semua orang bisa paham (apalagi anak-anak/remaja). jadi biar lebih aman, jangan terlalu vulgar nyebut hal2 semacam itu kan
Waaaakssssss serem bacanya. Jujur aku adalah salah satu dari orang-orang yang suka sama komedi vulgar, humor dewasa, blue material, apalah namanya. Dan jujur postinganku juga nggak jauh dari itu. Tapi aku biasanya nyebutin kemaluan itu dengan organ kewanitaan, kalau yang punya lelaki belum. Menurut kamu apa itu nggak sopan juga? Kata yang aku pake :(
Hmm. Bener juga sih. Lelucon bakal terasa lucu kalau pada tempatnya.
@icha:
no offense ya kalau kebetulan kamu seperti itu. tapi bukan berarti gaya menulismu selalu begitu kan? semuanya pilihan sih. tinggal konteksnya aja. apakah 'blue material' itu mau dipakai untuk melucu, atau malah menjelaskan sebuah 'blue material' dari perspektif ilmiah. keduanya pasti beda
Biasanya sih itu diperuntukkan buat 17+ sih.
Waktu kecil gue juga pernah baca bukunya Fredy S, yah walaupun nggak segamblang buku yang lo baca dalam konteks menyebut "kemaluan" itu. masih dibungkus rapi tapi tetep nilai pornonya tinggi banget.
Saat baca novel2nya Fredy S, pasti nyokap langsung ngrampas tu buku dan marahin gue. makanya gue kalo baca buku2nya pasti sembunyi2 .. hehe
Biasanya buku itu buat orang dewasa aja sih..
@azka:
buku Fredy S? malah belum pernah baca itu. jaman dulu sensor belum seketat sekarang, berita-berita kriminal di koran juga terkadang memakai bahasa yang vulgar
Post a Comment