. . .
Seperti yang saya tulis di artikel 5 Penyebab
Utama Kecelakaan Lalu Lintas, salah satu penyebab utama
kecelakaan adalah "perasaan buru-buru". Kecelakaan
pertama yang pernah saya alami juga berawal dari rasa buru-buru saat
berkendara.
Saat itu, saya masih SMA. Saya baru saja selesai menjalani
perbaikan ulangan semester. Karena hanya menjalani perbaikan, kegiatan sekolah
pada hari itu tidak banyak. Beberapa murid tampak sudah meninggalkan sekolah.
Seorang teman sekelas—sebut saja Andi, mengajak saya bermain game. Saya pun menyanggupi
ajakannya. Tidak lama berselang, saya membonceng Andi menuju tempat bermain game yang letaknya tidak jauh dari
sekolah.
Sekitar dua jam bermain game,
saya ingin mengambil motor yang masih saya taruh di parkiran sekolah. Kebetulan
saat itu ada seorang teman yang juga ingin kembal ke sekolah. Saya pun
membonceng teman saya itu dan beranjak pergi ke sekolah, sementara Andi
menunggu saya di tempat bermain game.
Untunglah gerbang sekolah belum tutup. Beberapa motor masih tampak
berjejer di parkiran. Saya bergegas mengeluarkan motor karena saya tidak ingin
membuat Andi menunggu lama.
Keluar dari gerbang sekolah, dengan terburu-buru saya memacu motor
menuju tempat main game.
Sekitar 50 meter dari gerbang sekolah, seorang bocah bersepeda tiba-tiba keluar
dari mulut gang. Bocah itu berhenti tepat di jalur motor saya. Dan tabrakan pun
tak terhindarkan lagi.
BRAKKK!!!
Stang motor saya dengan telak menghantam kepala bocah itu. Saya
kehilangan kendali. Motor saya oleng, membuat saya terpental dan terseret
sekitar 5 meter setelah menghujam permukaan aspal.
Saya lihat bocah itu terkapar—diam tak bergerak. Darah mengucur
deras dari kepala si bocah. Di seberang jalan, sepeda mini bocah itu tampak
ringsek parah. Begitu juga dengan kap depan motor saya yang remuk setelah
menghantam aspal. Hampir-hampir saya tidak mempercayai kejadian itu. Semuanya
terjadi begitu cepat.
Orang-orang berdatangan menolong kami. Motor saya dan sepeda mini
si bocah ditepikan Kami pun segera dibawa ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, kami langsung dilarikan ke UGD. Bocah itu
berada di bilik yang terpisah dari saya, sehingga saya tidak bisa melihat
keadaannya. Saya cukup beruntung hanya mengalami luka lecet dan nyeri di
persendian. Penanganan luka saya tidak lama. Saya lebih mencemaskan keadaan
bocah itu.
Pendarahan di kepalanya terlihat cukup parah. Saat bocah itu akan
dibawa ke rumah sakit, saya sempat melihat darah yang terus mengucur dari
kepalanya. Saya ragu bocah itu akan selamat. Jika hal itu yang terjadi, sayalah
yang harus bertanggungjawab karena telah menghabisi nyawanya—sekalipun saya
tidak sengaja.
Saya mulai bergidik ngeri membayangkan skenario terburuk itu. Saya
tidak percaya hidup saya akan berakhir sebagai seorang pembunuh. Saya masih
SMA, tapi mungkinkah polisi akan mau melunak dan memaafkan kesalahan saya?
Pikiran saya malah semakin kusut memikirkan hal itu.
Sejak memasuki ruang UGD, saya mendengar banyak sekali suara
tangis anak kecil. Dalam hati, saya berharap itu adalah suara tangis bocah
nahas yang saya tabrak. Setidaknya, itu akan mengurangi kegelisahan saya dan
menyalakan harapan bahwa bocah itu masih mungkin selamat.
“Adiknya tadi bagaimana, Mbak?” tanya saya pada seorang perawat
yang sedang memeriksa keadaan luka saya.
“Oh, dia baik-baik saja kok,” jawab perawat itu.
" (Alhamdulillaah...)" Kecemasan saya
jauh lebih berkurang setelah mendengar jawaban perawat itu.
Setengah jam kemudian, orangtua saya datang. Keduanya tampak
sangat khawatir. Selama beberapa menit, saya berbincang dengan orangtua saya.
Tak banyak yang bisa saya ceritakan pada mereka. Saya masih agak syok dengan
kecelakaan itu. Setelah mengetahui kondisi saya baik-baik saja, orangtua saya
beranjak pergi menemui keluarga si bocah nahas.
*
* *
Buru-buru, ngebut—keduanya seperti semacam ‘paket kecelakaan siap
saji.’ Banyak sekali kecelakaan fatal yang terjadi karena pengendara yang
buru-buru dan alpa memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi.
Setelah kecelakaan itu, saya sempat trauma naik motor. Bayangan
bocah nahas yang terkapar berdarah-darah masih membekas di benak saya. Selama
beberapa hari, saya memutuskan untuk jalan kaki ke sekolah.
Meski terlihat menyeramkan, saya mendapat banyak pelajaran dari
kecelakaan itu. Saya sadar, buru-buru dalam berkendara adalah tindakan konyol.
Kita tidak akan bisa berkendara dengan tenang saat dikejar perasaan buru-buru.
Ketika itu terjadi, pikiran kita tidak fokus pada kendaraan yang sedang kita
kendarai. Dan itu bisa jadi sangat berbahaya, tidak hanya mengancam keselamatan
kita, tapi juga mengancam keselamatan orang lain.
Jadi, buang jauh-jauh perasaan buru-buru saat berkendara. Jangan
sampai hanya karena alasan buru-buru, kita mempertaruhkan keselamatan banyak
orang di jalanan. Berhati-hatilah dalam berkendara, karena kecepatan bukan
jaminan untuk cepat sampai tujuan. “Keluarga Anda menunggu di rumah.”
4 comments:
Makanya sob jgn buru2 gitu tuh jadinya
Tapi kagok juga sih kalo tiba2 ngendarin motor wlaupun pelan terus ada anak kecil bawa sepeda kenceng2
Sukurlah si anak kecilnya bisa selmat engga sampe keilangan nyawa
@niki:
iya bang niki. jangan buru-buru pokoknya.
kalau ada rekaman CCTV sih, mungkin bakal ketahuan gimana bocah itu mendadak keluar gang kemudian memakan jalur motor saya.
masalahnya anak SMA di situ terkenal suka ngebut. warga jadi cenderung menyalahkan anak SMA-nya.
Kecelakan pertamaku malah pas belajar naik motor -_- jadi waktu belokan gitu aku sok-sokan mau kayak pembalap gitu ._. akhirnya, jatuuuuh. Didepan rumah pula -_-
@febri:
sepertinya sudut elevasi kamu waktu nikung terlalu kecil. belajar nikung dulu gih sama yang ahli di sebelah. kejadiannya nggak sampai polisi kan itu?
Post a Comment