“Hutang budi dibawa mati,
hutang
duit dibawa lari ”
(guyon maton)
Dalam keseharian, hutang adalah sesuatu yang wajar. Mulai
dari bocah, orang tua, pedagang kaki lima, pejabat elit, sampai hubungan
bilateral antarnegara, semuanya tidak luput dari hutang. Hutang negara kita
saja per Juli 2015 lalu sudah mencapai lebih dari 4.376 triliun. Itu berarti, setiap
bayi yang lahir di Indonesia, memiliki beban hutang setidaknya 8,5 juta!!! Edan !
Saking banyaknya orang berhutang, sampai-sampai hutang dijadikan
ladang bisnis. Bank—kini tidak lagi diartikan sebagai tempat menyimpan uang,
tapi juga bisa dijadikan tempat ngutang
(kredit). Koperasi—kini malah lebih sering dianggap sebagai “klinik alternatif”
penyedia jasa ngutang dengan suku bunga
rendah. Begitu juga dengan orang-orang yang bergelut dalam bisnis penyedia utang. Saya sering menjumpai iklan-iklan
liar mereka di pepohonan pinggir jalan:
“Cukup Bawa BPKB,
Kredit 1 jam Cair.”—kira-kira begitu bunyi iklannya.
Banyaknya orang yang bisa memberi hutang mengharuskan
kita bijak memilih. Jika kita berhutang pada badan-badan resmi yang memiliki
payung hukum—seperti bank, maka pengurusannya bisa lebih terstruktur dan akuntabel.
Konsekuensinya, kita harus menyediakan berbagai macam jaminan sebagai syarat pengajuan
pinjaman. Belum lagi jika memikirkan banyaknya bunga, tenggat waktu pelunasan
hutang, sampai kemungkinan dikejar-kejar wanita debt collector. Sebagian orang cenderung segan jika ngutang dengan jalur formal seperti itu.
Di sisi lain, jika kita ngutang pada sembarang orang, yang ada malah kita menjadi korban pemerasan
dan penipuan. Alih-alih mendapat untung, jumlah hutang yang harus kita bayar malah
meroket karena bunga yang dibayarkan berubah seenak perut. Aset-aset kita pun ludes
disita. Jika nekat melawan, kita harus berurusan dengan para debt collector.
Setelah menimbang, mengingat, dan mempusingkan kondisi di
atas, kita mulai memikirkan cara alternatif ngutang
yang bebas resiko. Kita perlu ngutang pada
orang yang tidak meminta prosedur berbelit-belit. Kita juga perlu ngutang pada orang yang sudah kita kenal baik agar waktu
pelunasan bisa dinegosiasikan. Dan kita pun memilih—ngutang pada “teman.”
Berhutang pada teman jelas berbeda dengan sistem kredit
yang mensyaratkan cicilan pembayaran dengan sejumlah bunga. Berhutang pada teman
lebih didasarkan pada asas solidaritas.
Karena itu, hutang jenis ini jauh lebih mudah dan tidak butuh prosedur berbelit-belit.
Setidaknya ada 4 kemudahan berhutang pada teman, yaitu:
1.
Mudah Cair
Tidak perlu pusing memikirkan nasib BPKB, emas, Surat
Tanah, atau barang berharga lain yang biasa dipakai sebagai jaminan. Cukup
dengan beberapa kata pemanis dan mimik memelas saat meminta, dan pinjaman pun
akan segera cair. Jika kalian cowok, maka prosesnya jauh lebih simpel. Cukup ngomong:
“Bro, pinjem duitnya dong (sebut
nominal), besok gue kembaliin deh.”—dan pinjaman pun bisa segera
dicairkan.
2.
Tidak Ada Tenggat Pembayaran
Karena sejak awal hanya didasarkan pada asas solidaritas,
maka tenggat pembayaran pun menjadi fleksibel. Biasanya, teman yang dihutangi
merasa sungkan menagih hutang, karena yang ngutang
adalah temannya sendiri. Dalam posisi seperti itu, tidak jarang si
penghutang “lupa diri,” dan sengaja mengulur-ulur waktu pembayaran. Padahal,
temannya yang dihutangi sedang fakir-fakirnya, sampai-sampai cuma makan ind*mie
dua kali sehari.
3.
Tidak Ada Bunga
Saya rasa, tidak ada orang yang cukup tega membebani
temannya dengan sejumlah bunga saat berhutang. Sekali lagi, semua ini karena
asas solidaritas! Lagipula kalau mau yang lurus-lurus, bunga bisa menjadi riba
yang dilarang dalam agama samawi manapun.
4. Kebal
Hukum
Lagi-lagi karena asas solidaritas, hampir tidak ada orang
yang memperkarakan hutang temannya sampai melaporkannya ke polisi. Bagaimana
tidak, lha wong nominal hutangnya saja cepek. Belum pernah saya membaca berita seorang
mahasiswa diadili karena hutang pulsa 50ribu (misalnya). Lebih “wajar” jika
judul headline-nya ditulis begini: “Gara-Gara Hutang Pulsa 50ribu, Seorang Mahasiswa
Dianiaya Temannya.” (?)
Melihat keempat alasan di atas, tidak heran jika banyak
orang “tega” ngutang pada temannya
dan memanfaatkan segala kemudahan yang diberikan—misalnya dengan
mengulur-ngulur waktu pelunasan, mendadak lupa jika ditagih, dan sebagainya. Pada
akhirnya, persoalan hutang itu menjadi berlarut-larut—tidak sesederhana pinjam-ambil-bayar-lunas.
Saat saya kuliah dulu, saya punya teman yang jualan
pulsa. Sebut saja teman saya ini Sarah. Boleh jadi, Sarah ini adalah teman saya
yang paling teraniaya karena sering “dimintai pulsa gratis.” Sebagian orang
memanfaatkan asas solidaritas pertemanan
untuk ngutang pulsa pada Sarah dengan
batas waktu pembayaran yang tidak jelas.
Memangnya hutang pulsa bisa sampai seberapa banyak sih? Untuk
satu orang, rata-rata akan ngutang 10-20
ribu atau paling banyak 50 ribu. Tapi jika semua orang melakukan hal yang sama,
kemudian “berkonspirasi” menunda pembayaran, maka orang-orang seperti Sarah
bisa tekor (bangkrut).
Beberapa kali Sarah sampai harus terang-terangan
mengingatkan para pelanggannya agar segera melunasi hutang pulsanya. Jika tidak
begitu, para pelanggannya lebih memilih bungkam. Bukan karena mereka tidak punya
uang, tapi lebih karena mereka enggan mengalokasikan uang untuk melunasi
hutangnya. Sikap semacam inilah yang sering membuat kesal pihak yang dihutangi.
Saya tidak bermaksud sok
suci dengan bilang saya tidak pernah ngutang.
Saya pun pernah berhutang seperti halnya hutang pulsa pada Sarah. Tapi
setidaknya, saya akan berusaha memperhatikan waktu pelunasannya. Memang Sarah adalah
teman saya. Tapi saya tidak bisa memastikan kondisi keuangan Sarah. Apa jadinya
jika Sarah ternyata sedang butuh uang—sementara orang-orang yang berhutang
padanya tidak sadar untuk segera melunasi hutangnya? Bukankah itu keterlaluan?
Seorang teman—seorang sahabat yang baik—akan selalu berusaha
menjaga sebuah persahabatan. Meminjami beberapa lembar rupiah tidak akan
menjadi soal, karena dilakukan atas dasar solidaritas dan kepedulian antarteman. Karena itu, berhutang pada teman menjadi tampak lebih “menguntungkan.”
Teman yang baik akan memberi kelonggaran saat kita berhutang
padanya. Mereka juga akan memaafkan kita, jika tidak bisa melunasi hutang tepat
waktunya. Tapi, justru karena orang yang
kita hutangi adalah teman kita sendiri, rasanya tidak etis jika kita malah membalas
segala kebaikan dan kemurahannya dengan menunda-nunda pembayaran hutang.
Lebih-lebih jika saat itu kita sudah bisa melunasi hutang-hutang kita padanya. Sebelum
ditagih, kita seharusnya SADAR DIRI.
Kita harus tahu bagaimana kondisi teman yang kita hutangi, apakah dia sedang
lapang atau sedang sempit.
Tidak bijak jika kita ingat berhutang, tapi tidak sadar
untuk segera melunasinya. inilah yang saya sebut sebagai “hutang mayat hidup.” Penghutang tahu dirinya punya hutang, tapi
entah karena malas, enggan, atau karena eman-eman,
hutang yang seharusnya bisa segera lunas malah tak kunjung dilunasinya.
Saya berdoa, semoga di masa depan kita semua bisa bebas
dari hutang. Jika pun kita harus berhutang, maka saya berdoa, semoga kita
segera diberi kemampuan finansial untuk segera melunasinya. Aamiin…
* * *
5 comments:
Kenapa ya kalo hutang itu ada bunganya?
Padahalkan itu riba
Dan riba itu dosa
Hmmmm bener ternyata akhir jaman ini
Orang banyak makan riba
sistemnya kan begitu, sejak uang dibuat bunga pasti ada. setiap orang yang meminjam uang pasti dikenakan bunga. makanya sewaktu-waktu pasti terjadi inflasi, nilai tukar mata uang jatuh, dan krisis moneter. tapi kalau ngutangin teman, nggak usah nambahin bunga, cukup minta pelunasan tepat waktu aja bagi saya udah cukup
Untuk laki-laki mending jangan ngutang deh, enakan pake singlet !!
Iya kalo bisa hindari ngutang deh, kalo pengen ngutang saran gue, ngutang dalam jumlah besar aja ke Bank buat modal usaha langsung. tiap bulan kita jangan nyicil buat nglunasin uang di Bank, tapi nglunasin bunganya aja. jadi usaha jalan, bunga gak menumpuk.
Itu gue diajarin dosen kewirausahaan gue.
Kadang kesel juga sih sama yang ngutang trus ngerasa gak punya hutang. Malah kita yang kaya ngemis2 biar utangnya dibalikin. Makanya saya liat2 kalo mau ngutangin orang. Kalo buat berhutang, saya sih pilih2. Kalo terdesak sekali baru deh dengan catatan bisa segera melunasinya
Pernah ngalamin gini, Biasanya tak ikhlasin aja. Walo kalo ditotal, jumlahnya bisa buat ngambil kredit motor
Post a Comment