“Tidaklah
bergeser kedua kaki seorang hamba sehingga ia ditanya tentang umurnya—untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya—untuk apa ia amalkan, tentang hartanya—darimana ia peroleh dan kemana
ia habiskan, dan tentang badannya
untuk apa ia gunakan.”
(Al-Hadis)
Motivator
bilang, punya uang banyak bukanlah penentu kebahagiaan. Harta benda bukanlah
sumber kebahagiaan yang hakiki. Tapi sulit menyangkal logika “jika punya uang
banyak, hati akan bahagia.” Seteguh apapun sang motivator menguatkan hati mereka
yang fakir, harta benda adalah sekelumit pesona dunia yang selalu diidentikkan
dengan kebahagiaan. Dan karenanya, milyaran manusia pun berlomba mengumpulkan
harta sebanyak-banyaknya.
Berbagai cara
ditempuh untuk mengumpulkan harta. Pola dasarnya sama—dengan bekerja. Sebagian orang
bekerja keras membanting tulang pagi-malam. Sebagian yang lain sibuk melayani
pelanggan sambil sesekali menghitung laba. Sebagiannya lagi duduk manis
menunggu setoran bulanan tiba. Dan ada sebagian lagi yang menadahkan tangan, mengharap
uluran tangan para dermawan di jalanan. Harta yang terkumpul kemudian ditukar
dengan benda lain yang dibutuhkan—sesuap nasi misalnya. Sistem bakunya selalu
begitu.
Menjadi
ironis ketika kebutuhan manusia tidak lagi didasarkan pada skala prioritas melainkan
dilandasi kebutuhan rasa ingin yang dibumbui
gengsi serta spekulasi krisis ekonomi masa depan. Manusia menjadi kalap dalam
mengumpulkan harta. Tidak ada lagi istilah bekerja demi sesuap nasi. Manusia harus
bekerja demi se-kuintal beras. Untuk cadangan logistik beberapa bulan ke depan
katanya. Tapi manusia lupa bahwa dunia sudah cukup sesak dengan 7 milyar
penghuni. Setiap anak Adam harus bersaing—selalu bersaing mencari harta. Naluri
primitifnya pun bereaksi. “Kalau tidak
cepat, tidak akan kebagian. Apapun caranya yang penting dapat duit.”
Begitulah
kehidupan manusia modern yang terlanjur diperbudak dunia. Ketakutan manusia
akan kurangnya harta mendorongnya menghalalkan segala cara. Yang terlanjur
gelap mata memilih ‘pasrah’ menjual diri sebagai pelacur, korupsi, mencuri, merampok,
hingga membunuh sesamanya. Yang ‘setengah sadar’ mencari harta dengan lurus—tapi
sekali waktu ikut mengintip celah untuk menilap uang proyek. Sementara yang tansah eling lan waspada mencoba tegar mencari harta yang halal
dan thayyib meski terkadang jumlahnya
tak seberapa.
Nurani kita
meyakini bahwa akan ada kehidupan setelah kematian. Akan ada pertanggungjawaban
atas semua tindakan kita di dunia. Dan tentu saja akan ada balasan atas kejahatan dan segala nista kita di dunia. Tak tertolak. Begitu pula dengan
harta kita. Semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya. Tidak hanya dari mana harta diperoleh, tapi juga untuk apa harta itu kita belanjakan.
Ada dua pertanyaan untuk harta—sedangkan umur, masa muda, dan badan
masing-masing hanya dijatah satu pertanyaan dari Tuhan. Ini adalah pertanda bahwa
urusan mencari dan membelanjakan harta bukan perkara sepele.
Situasinya
sama ketika kita menjadi bendahara di kantor. Urusan keuangan menjadi perkara
penting yang menuntut pertanggungjawaban. Sekali waktu bos kita datang untuk melihat
laporan keuangan bulanan. Bos tidak mungkin hanya menanyakan pemasukannya, tapi
juga alokasi anggarannya untuk apa saja. Jika bos mendapati adanya manipulasi atau
menyadari sesen uang kantornya kita ambil, maka tunggulah sampai ‘azab’
pemecatan itu datang dengan tiba-tiba.
Jika kita
sadar setiap harta yang kita kumpulkan akan dimintai pertanggungjawaban oleh
Tuhan, mengapa kita masih mencari harta dengan cara yang batil? Mengapa kita
masih berani menukar harta demi seteguk nikmat maksiat yang boleh jadi hanya
sebentar?
Ah, dasar
manusia! Saya tidak berani memfatwa macam-macam dalam tulisan ini. Saya tahu
diri. Saya juga tidak mau munafik. Saya masih ‘hijau’ dalam urusan mencari
harta. Saya belum pernah merasakan kegetiran pelacur yang terpaksa melacur karena
desakan kebutuhan ekonomi keluarganya. Saya belum pernah merasakan pahitnya lapar
dan dahaga anak jalanan yang terpaksa mencuri makanan di warung setelah berhari-hari
tidak makan. Saya juga belum pernah merasakan menjadi seorang ayah yang dihajar
massa karena mencuri demi pengobatan putranya yang kritis di meja operasi. Tapi
apapun alasannya, Tuhan akan tetap bertanya: “Hartamu kau dapatkan dari mana dan kau belanjakan untuk apa?” Dan seketika
itu pula kita tertunduk di hadapan-Nya, bergidik ngeri membayangkan balasan-Nya
dengan penyesalan yang teramat dalam.
Urusan harta
ini, entah bagaimana selalu membuat saya khawatir. Begitu pula dengan jutaan umat
manusia lain di bumi yang bahkan tidak tahu esok masih ada makanan atau tidak. Seorang
bijak pernah menasehati saya untuk belajar dari seekor burung. Setiap pagi
burung terbang dari sarangnya mencari makan—sama halnya dengan manusia bekerja
mencari nafkah. Hanya bedanya tidak ada cerita burung mati karena kelaparan
layaknya manusia. Burung mati karena limbah pabrik atau karena tersengat
listrik mungkin banyak. Tapi burung yang mati karena kelaparan rasa-rasanya
tidak pernah ada.
3 comments:
makasih udah nginngetin
Melacur, merampok, mencuri, korupsi, dan sejenisnya. Mungkin kita sadar bahwa hal2 demikian itu haram dan kita sanggup menjauhinya. Tapi hal haram yang kita tidak sadar melakukannya adalah mencari uang dengan RIBA. Jika kita berhutang ke BANK kita tdk merasa dosa karna kita merasa kita adalah korban, yg harus membayar uang lebih ke Bank karna kita berhutang, ato kredit kendaraan secara leasing (perantara Bank). Dan parahnya kita menghalalkan kredit karna keinginan nafsu kita di dunia, padahal pengkredit adalah termasuk pemberi riba dan tercatat dosa pula.
Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama (dalam melakukan yang haram)” (HR. Muslim no. 1598).
Jaman sekarang sdh terlihat sangat umum memperoleh harta melalui leasing (kredit ke Bank). Dan parahnya sudah tidak terlihat dosa melakukannya. Padahal Alloh jelas2 menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, dan di ancam perang dengan Alloh dan nabinya, dan dosa melakukan riba pun melebihi dosa menzinahi ibu kandungnya.
Semoga Alloh mengampuni kita dan membebaskan kita dari riba yang tak terlihat. Aamiin.
Post a Comment